Ini Penjelasan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana UGM soal Kasus SAT

Rabu, 31 Juli 2019 - 22:27 WIB
Ini Penjelasan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana UGM soal Kasus SAT
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana UGM Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan, jika KPK menemukan bukti adanya kerugian negara dalam kasus BLBI, maka gugatan yang bisa dilakukan hanya gugatan perdata. Foto SINDOnews
A A A
JAKARTA -

JAKARTA - Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan, bahwa jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bukti adanya kerugian negara dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), maka gugatan yang bisa dilakukan hanya gugatan perdata.

Dia merujuk kepada putusan Mahkamah Agung 9 Juli 2019 yang melepaskan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).

"Bahwa apabila ada kerugian negara secara nyata, putusan bebas, putusan lepas, tidak menghapuskan gugatan perdata. Silahkan melakukan gugatan perdata. Kalau ada kerugian keuangan negara secara nyata," katanya

Berbicara pada acara diskusi publik bertajuk "Vonis Bebas MA Terhadap Syafruddin: Salah Siapa, MA atau KPK?" yang diselenggarakan MMD Initiative di Jakarta Rabu siang (31/7/2019), Prof Hiariej menjelaskan bahwa di dalam perkara pidana itu ada asas yang berbunyi res judicata in criminalibus atau setiap perkara pidana itu harus ada akhirnya atau ujungnya.

"Saya tidak lihat fakta persidangan, tidak melihat apapun, tapi saya mau berbicara secara teoritik. Bahwa dalam perkara pidana ada asas yang berbunyi res judicata in criminalibus. Jadi perkara pidana itu harus ada akhirnya. Harus ada ujungnya," timpalnya.

Guru besar yang akrab disapa Eddy Hiarej juga menerangkan bahwa secara teoritik vonis hakim Mahkamah Agung kepada Syamsudin Arsyad Tumenggung (SAT) sudah selesai dan tidak bisa lagi dilakukan peninjauan kembali (PK) oleh Jaksa. Sebab menurutnya secara aturan, Jaksa sudah tidak berhak melakukan PK pada putusan pengadilan tertinggi tersebut.

"Untuk SAT secara pidana close the case, sudah putusan lepas. Artinya dia tidak dijatuhi pidana, dan itu putusan pada kasasi," ungkapnya.

"Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi, sampai dunia kiamat saya tidak pernah setuju yang namanya jaksa melakukan peninjauan kembali. Karena peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa bukan terobosan hukum, itu noda hitam dalam sejarah penegakan hukum," tegas Eddy.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1138 seconds (0.1#10.140)