Pengamat: KPK Berpotensi Merusak Kewibawaan Lembaga Peradilan dalam Kasus SAT

Sabtu, 27 Juli 2019 - 12:40 WIB
Pengamat: KPK Berpotensi Merusak Kewibawaan Lembaga Peradilan dalam Kasus SAT
Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak mengindahkan putusan Mahkamah Agung (MA) bisa dipandang sebagai tindakan yang berpotensi menginjak-injak hukum yang berlaku, kata seorang pengamat hukum di Jakarta. Foto SINDOnews
A A A
JAKARTA - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak mengindahkan putusan Mahkamah Agung (MA) bisa dipandang sebagai tindakan yang berpotensi menginjak-injak hukum yang berlaku, kata seorang pengamat hukum di Jakarta.Robby Anugerah Marpaung, Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Golkar, mengatakan KPK harus bisa menjelaskan mengapa mereka tetap menyatakan dan menetapkan Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN) sebagai tersangka yang terkait Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), padahal Mahkamah Agung sudah membebaskan mantan Kepala BPPN itu.

“MA telah memutuskan bahwa perbuatan Syafruddin Temenggung bukanlah merupakan suatu tindak pidana. Maka, mengapa KPK tetap mentersangkakan IN dan SN? Hal ini sangat tidak masuk akal dan seakan-akan KPK sedang menginjak-injak sistem hukum kita. KPK harus dengan segera menjelaskan kontradiksi ini,” kata Marpaung, di Jakarta, Sabtu (27/7/2019).

Menanggapi pernyataan advokat senior, Mohammad Assegaf bahwa munculnya kritik dan serangan terhadap Mahkamah Agung (MA) bisa menjurus pada pelecehan terhadap institusi peradilan tertinggi di Indonesia, Marpaung mengatakan bahwa tindakan KPK yang membabi buta bisa berpotensi melanggar HAM.

“Penegakan hukum seharusnya dilakukan dengan tidak menabrak aturan yang berlaku dan tetap memperhatikan kepentingan serta hak-hak masyarakat,” katanya.

Dia sepakat dengan Assegaf bahwa MA dalam memutuskan perkara pasti melakukannya dengan seksama, sesuai fakta yang ada dan berdasarkan hukum yang berlaku. “Sama halnya seperti putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) yang dihormati oleh KPK dan pihak-pihak lainnya. Maka, terlebih pada putusan Mahkamah Agung, juga harus dihormati dan dipatuhi,” timpalnya.

Menurut Assegaf, apabila seorang Hakim dapat diperiksa hanya karena beberapa orang tidak senang atas putusannya, hal itu akan merusak sistem hukum dan kewibawaan lembaga peradilan kita. “Hal tersebut tidaklah adil bagi para Hakim dan tidak adil bagi SAT yang telah dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum oleh putusan Mahkamah Agung,” ungkapnya.

Sudah menjadi fakta hukum bahwa MA telah membebaskan SAT karena tidak terbukti ada unsur pidana dalam keputusannya sebagai Kepala BPPN memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) tahun 2004 kepada Sjamsul Nursalim (SN), pemegang saham BDNI. Masalah BLBI-BDNI sudah selesai setelah penandatanganan MSAA dan pemberian surat Release and Discharge dari pemerintah kepada Sjamsul Nursalim pada 1999.

Pembebasan SAT oleh para hakim agung semestinya secara otomatis menggugurkan dakwaan terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim (IN), yang didakwa melakukan tindakan pidana bersama-sama SAT. SN dan IN seharusnya dibebaskan dari dakwaan karena hal itu berpotensi melanggar hak-hak asasinya.

Assegaf menilai sikap KPK yang justru bertindak sebaliknya, tetap kekeuh dan kukuh untuk mentersangkakan pasangan suami istri tersebut, tidak bisa diterima, bahkan bisa disebut “aneh bin ajaib”.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 5.4001 seconds (0.1#10.140)