Otto Hasibuan: Putusan MA Mengkonfirmasi Kasus SAT Perdata

Kamis, 11 Juli 2019 - 21:06 WIB
Otto Hasibuan: Putusan MA Mengkonfirmasi Kasus SAT Perdata
Pengacara senior Otto Hasibuan mengatakan putusan Mahkamah Agung (MA) semakin memperjelas bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat menyeret Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, dalam kasus pidana. Foto Otto Hasibuan/Okezone
A A A
JAKARTA - Pengacara senior Otto Hasibuan mengatakan putusan Mahkamah Agung (MA) semakin memperjelas bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat menyeret Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, dalam kasus pidana. "Ini telah dikonfirmasikan bahwa kasus yang dikenakan kepada Syafruddin Temenggung adalah perkara perdata dan bukan pidana," katanya menanggapi putusan kasasi MA yang melepaskan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).

Jadi menurut dia, karena Sjamsul Nursalim dituduh bersama-sama dengan Syafruddin Temenggung. "Maka karena Syafruddin Temenggung dibebaskan dan karena perbuatannya adalah perdata, maka tentu Sjamsul Nursalim juga tidak dapat dijadikan tersangka lagi,” ujar Ketua Pembina Peradi itu, Kamis (11/7/2019).

Seperti yang telah dikatakan selama ini bahwa pemerintahlah yang harus mempermasalahkan secara perdata jika memang ada kerugian dalam bentuk apapun.

"Hingga kini, pemerintah tidak mempermasalahkan hal itu, karena pemerintah tahu dan mengakui bahwa tidak ada misrepresentasi dan tidak ada kerugian yang dialami. Kami mengapresiasi putusan Mahkamah Agung tersebut, karena memberikan putusan yang adil dan benar dan memberikan kepastian hukum,” timpal.

Otto Hasibuan, Rabu kemarin berada di PN Tangerang mengikuti sidang perkara gugatan terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan institusi BPK.

Dia mewakili kliennya, Sjamsul Nursalim dalam gugatan terhadap terhadap I Nyoman Wara selaku penanggung jawab laporan audit (“Tergugat I”) dan institusi BPK (“Tergugat II”) menyangkut hasil audit Investigasi BPK 25 Agustus 2017 yang dinilai telah melanggar Undang-Undang dan menyimpang dari Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).

Sidang perkara perdata di PN Tangerang ini telah dilangsungkan pada 25 Februari 2019 dan 12 Juni 2019. Dan berikutnya hari Rabu 10 Juli 2019 kemarin.

Seperti diketahui, Sjamsul Nursalim sendiri sudah sejak 25 Mei 1999 mendapatkan Release and Discharge (pelepasan dan pembebasan) dan jaminan tidak dituntut secara pidana dari pemerintah setelah menyelesaikan seluruh kewajibannya atas BLBI sesuai perjanjian MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) yang digariskan pemerintah.

Laporan Audit investigasi BPK 2002 telah menyatakan bahwa MSAA telah Final Closing pada tanggal 25 Mei 1999 dengan adanya Release and Discharge tersebut

BPK Tidak Objektif, Memihak, Tidak Independen
Dalam perkara gugatan di PN Tangerang, penggugat menyatakan bahwa para tergugat telah mengabaikan Laporan Audit Investigasi BPK 2002 dan Laporan Audit BPK 2006.

Laporan Audit Investigasi BPK 2002 menyimpulkan bahwa Penggugat telah memenuhi kewajibannya dalam MSAA (MSAA telah closing) pada tanggal 25 Mei 1999. Sedangkan Laporan Audit BPK 2006 menyimpulkan bahwa Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada Penggugat karena telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA serta telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002.

Laporan audit BPK 30 Nopember ini sudah disampaikan ke DPR. Kedua hasil pemeriksaan tersebut seharusnya dipertimbangkan dalam audit Investigasi BPK 2017. Namun hal ini tidak dilakukan sehingga telah melanggar SPKN.

Gugatan yang dilayangkan oleh Sjamsul Nursalim kepada auditor BPK dan institusinya ini menyangkut pelaksanaan audit investigasi BPK Agustus 2017 tersebut yang dinilai telah melanggar UU dan SPKN.

Para tergugat tidak objektif, bersikap memihak dan tidak independen karena dalam pelaksanaan audit/pemeriksaan semata-mata hanya menggunakan informasi/bukti dari satu sumber saja, yaitu dari penyidik KPK yang jelas-jelas hanya berkepentingan untuk membuktikan tuduhannya.

Para Tergugat tidak pernah memeriksa, mengkonfirmasi dan mengklarifikasi informasi/bukti dari KPK dengan auditee, maupun terhadap pihak-pihak terkait lainnya. “Informasi dari penyidik KPK diterima begitu saja tanpa dinilai atau diuji kebenarannya. Akibatnya, dalam Laporan Audit Investigasi BPK 2017 hanya disajikan pandangan sepihak, yakni dari penyidik KPK," ujar Otto, seraya menambahkan bahwa ada sembilan (9) perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan audit pemeriksaan tersebut.

Penerbitan Laporan Audit Investigasi BPK 2017 itu pun melanggar Peraturan BPK No. 2/2016 karena tidak dibahas dan diputuskan dalam sidang BPK. Peraturan BPK itu menentukan bahwa hasil pemeriksaan dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai keputusan BPK. Peraturan itu juga menentukan bahwa BPK memutuskan Hasil Pemeriksaan dalam Sidang BPK. Sidang BPK dimaksud ternyata tidak pernah diadakan. Maka laporan audit tersebut menjadi tidak sah sebagai Keputusan BPK, dan tidak memiliki kekuatan mengikat.

Perbuatan melawan hukum di atas telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat, baik materiil maupun immateriil (moril). Sehubungan dengan itu penggugat memohon agar Laporan Audit Investigasi BPK 2017 dinyatakan tidak sah, cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.7453 seconds (0.1#10.140)