Kelebihan Kapasitas Lapas dan Rutan Picu Perilaku Homoseksual

Senin, 08 Juli 2019 - 14:19 WIB
Kelebihan Kapasitas Lapas dan Rutan Picu Perilaku Homoseksual
Kepala Kanwil Kemenkum HAM Jabar Liberti Sitinjak. Foto/Istimewa
A A A
BANDUNG - Kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) selain rawan terhadap keamanan dan kesehatan petugas, juga memicu perilaku homeseksual seperti gay maupun lesbian

Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Kanwil Kemenkum HAM Jabar Liberti Sitinjak seusai acara pembekalan petugas lapas dan rutan se-Jabar di Sarana Olahraga (SOR) Arcamanik, Kota Bandung, Senin (8/7/2019).

"Lapas dan rutan sudah over kapasitas. Ibarat kata, kondisi itu membuat kaki ketemu kaki, kepala ketemu kepala badan ketemu badan. Dampaknya munculnya homoseksualitas (gay) dan lesbi," ujar Liberti.

Liberti mengemukakan, saat ini lapas dan rutan di Jabar dihuni 23.681 orang. Sedangkan kapasitas ideal hanya 15.658 orang. Dari 23.681 narapidana itu, 11.775 merupakan narapidana kasus pidana umum, sedangkan 11.033 napi bandar dan pengguna narkoba (perinciannya 7.605 bandar dan 3.528 pengguna).

"Pengamatan saya, homoseksual ini menular dan ini kerja besar kami bagaimana mengatasi dampak-dampak dari overkapasitas tersebut. Bukan terhadap napi saja, tapi juga kesehatan petugas. Dengan kondisi seperti itu, pembinaan jadi tidak efektif," ujar Liberti.

Namun, Liberti enggan mengungkap besaran napi yang mengidap penyimpangan seksual, termasuk di lapas dan rutan mana saja mereka berada. "Gejala (homoseksual) itu ada. Bagaimana seseorang sudah berkeluarga, masuk ke lapas, otomatis kan kebutuhan biologisnya tidak tersalurkan. Jadi gejala itu ada. Namun tidak etis saya buka," tuturnya.

Membeludaknya lapas dan rutan, ungkap Liberti, tidak lepas dari penanganan proses hukum terhadap para pelaku tindak pidana. "Ini tantangan ke depan bagi seluruh aparat penegak hukum. Mana orang yang terlibat tindak pidana bisa masuk lapas dan mana yang tidak. Untuk pengguna (narkoba) misalkan, bisa cukup direhabilitasi supaya tidak menimbulkan overcrowded di lapas dan rutan," jelasnya.

Perlakuan hukum itu tidak hanya untuk penyalahgunaan narkoba, namun juga untuk kasus-kasus tindak pidana umum. "Saya pikir kalau seseorang kena tindak pidana ringan, bisa lapor per waktu tertentu. Untuk kasus-kasus seperti itu, saya lebih condong ke restorative justice seperti dalam sistem peradilan pidana anak," kata dia.

Liberti mencontohkan, sebelum Undang-Undang Peradilan Anak terbit, lapas dan rutan di Indonesia banyak dihuni oleh napi dan tahanan anak di bawah umur. Jumlahnya mencapai angka 20 ribu orang. "Setelah ada Undang-Undang Peradilan Anak, jumlah napi di bawah umur berkurang drastis, mencapai 4 ribuan saja di seluruh Indonesia. Saya yakin, sistem restorative justice jika diberlakukan pada orang dewasa juga bisa mengurangi 50 persen penghuni lapas dan rutan," tegas Liberti.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.9007 seconds (0.1#10.140)