Maqdir Ismail: Kalau ada Kekurangan Bayar BLBI, Pemerintah Mestinya Tagih Saja

Jum'at, 21 Juni 2019 - 17:40 WIB
Maqdir Ismail: Kalau ada Kekurangan Bayar BLBI, Pemerintah Mestinya Tagih Saja
Pemerintah semestinya mengajukan gugatan atau penagihan kepada Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham BDNI bila dipandang terjadi kekurangan bayar dalam pengembalian utang BLBI. Foto tim pengacara SN/Ist
A A A
BOGOR - Pemerintah semestinya mengajukan gugatan atau penagihan kepada Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham BDNI bila dipandang terjadi kekurangan bayar dalam pengembalian utang BLBI. Pengacara Maqdir Ismail mengatakan, bahwa kasus BLBI telah menghabiskan tenaga dan pikiran yang sangat menganggu dunia usaha. KPK setiap periode selalu mempersoalkan kembali perkara ini, bahkan telah menyatakan
Sjamsul Nursalim sebagai tersangka.

“Lebih baik pemerintah mengajukan gugatan agar Sjamsul membayar kekurangan bila memang dipandang begitu. Dengan demikian masalah menjadi lebih sederhana dan kita tidak menghabiskan seluruh energi untuk kasus ini,” katanya.

Maqdir menilai penetapan Sjamsul sebagai tersangka dengan mengaitkannya pada pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) tidak tepat karena SKL itu sepenuhnya urusan pemerintah. Dalam proses ini juga tidak terjadi suap menyuap sehingga alasan mentersangkakan Sjamsul sangat lemah.

Maqdir mempertanyakan, sikap diam pemerintah mengenai keputusan KPK tersebut, mengingat pemerintah selama ini sudah menyatakan bahwa perkara BLBI-BDNI telah selesai. Pemerintah sudah memberikan surat Release and Discharge (R&D) kepada Sjamsul pada 1999, sekitar lima tahun sebelum BPPN memberikan SKL.

Dikatakan juga bahwa khusus untuk masalah BLBI –BDNI keada Sjamsul telah diterbitkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) oleh Kejaksaan Agung. “Ini membuktikan bahwa pemberian SKL adalah tindakan sepihak pemerintah,” katanya.

Maqdir Ismail menegaskan, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tidak boleh diam seribu bahasa berkenaan dengan perkembangan penyelesaian BLBI ini, karena pada tanggal 3 Juli 2003, ada kesepakatan antara Pimpinan Komisi IX DPR RI, Pemerintah dan Bank Indonesia. Kemudian, pada 1 Agustus 2003, Pemerintah dan BI membuat kesepatan bahwa,

“Kebijakan BLBI adalah kebijakan Pemerintah yang dirumuskan oleh Pemerintah bersama Bank Indonesia dalam masa krisis dan kemudian dilaksanakan oleh Bank Indonesia dalam upaya menyelamatkan sistem moneter dan perbankan serta perekonomian secara keseluruhan yang antara lain berdasarkan Petunjuk-petunjuk dan putusan-putusan Presiden pada siding Kabinet terbatas Bidang Ekku Wasbang dan Prodis pada tanggal 3 September 1997,” timpalnya.

Dengan demikian, kata Maqdir Ismail, sebenarnya kebijakan penyelesaian BLBI yang dilakukan dengan cara perdata atau out of court settlement ini, adalah kebijakan bangsa dan negara. Dan ini dilakukan untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk menyelamatkan pihak tertentu khususnya Sjamsul Nursalim.

Jadi sekali lagi keliru, kalau ada pihak yang beranggapan bahwa penyelesaian BLBI ini harus dilakukan seperti menyelesaikan hutang piutang dalam kondisi normal. Karena dimensi krisis dalam penyelesaian BLBI ini lebih besar. Sehingga penyelesaiannya dilakukan secara perdata.

KPK melalui jurubicaranya, Febri Diansyah, mengatakan pekan ini bahwa Sjamsul belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya sebesar Rp4,58 triliun.

“Dalam proses penyidikan yang kami lakukan, bahkan diuji dalam persidangan ternyata masih ada kerugian Negara Rp4,58 triliun. Artinya, belum semua kewajiban diselesaikan,” katanya di Jakarta.

Maqdir meminta KPK lebih bijak dalam memahami segala keputusan pemerintah di masa lalu, terutama kebijakan yang diambil dalam masa krisis, seperti yang dilakukan dalam penyelesaian BLBI.

Sekiranya KPK menilai ada masalah kekuarangan pembayaran, sebaiknya KPK meminta Kuasa dari pemerintah untuk menggugat Sjamsul Nursalim secara Perdata sesuai dengan MSAA.

“Ada hal yang tidak bisa dilupakan termasuk oleh KPK, Kejaksaan Agung telah memberikan SP3 atas dugaan adanya perkara korupsi terkait BLBI BDNI,” tandasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.9669 seconds (0.1#10.140)