Masyarakat Diimbau Tak Berlebihan Tanggapi Isu People Power

Senin, 20 Mei 2019 - 21:15 WIB
Masyarakat Diimbau Tak Berlebihan Tanggapi Isu People Power
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad Muradi memaparkan skenario yang mungkin bakal terjadi menyusul isu people power, Senin (21/5/2019). Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Masyarakat diimbau tak perlu menanggapi isu people power (pengerahan massa) dan aksi terorisme saat penetapan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2018 pada 22 Mei mendatang secara berlebihan.

"Masyarakat saya kira normatif saja, gak perlu rumit, ga perlu seolah ada perang, biasa saja, normatif saja," imbau Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi dalam Diskusi Terbatas Mengawal Hasil Pemilu 2019 dan Menegakan Konstitusi" di Kampus Universitas Pasundan, Jalan Lengkong Besar, Kota Bandung, Senin (21/5/2019).

Muradi menegaskan, sikap normatif mencerminkan situasi biasa. Oleh karenanya, masyarakat pun tak perlu merasa takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat penetapan hasil suara Pemilu 2019 tersebut.

"Normal saja karena normal mencerminkan situasi yang biasa. Target teroris itu menciptakan ketakutan luar biasa, kalau takut, target mereka tercapai," jelasnya.

Muradi juga menegaskan, isu people power dalam konteks penggulingan kekuasaan tidak akan terjadi. Adapun people power yang dimungkinkan terjadi, kata Muradi, sebatas bentuk luapan ekspresi masyarakat yang diatur oleh undang-undang.

"Tidak ada indikasi bahwa people power mengarah pada pergantian kekuasaan. Kalau pengumpulan massa, unjuk rasa, saya kira itu hanya ekspresi publik. Selama sesuai mekanisme, itu wajar," terangnya.

Muradi memaparkan, people power dalam konteks penggulingan kekuasaan biasanya disertai indikasi adanya sikap otoriter dan refresif dari pihak penguasa. Pertanyaannya, kata Muradi, hal itu tidak terjadi saat ini.

"Indikasi lainnya, adanya ketakutan masyarakat, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, sistem politik yang tidak jalan seperti polisi dan tentara yang terpecah, hingga elite politik bertengkar. Semua itu kan tidak terjadi, kalaupun elite politik berbeda pendapat, itu wajar dalam demokrasi," paparnya.

Meski begitu, lanjut Muradi, semua pihak tetap harus waspada, khususnya aparat keamanan untuk mengantisipasi berbagai potensi gangguan keamanan di Ibu Kota. Terlebih, terdapat indikasi akan terjadi aksi teror saat penetapan hasil Pemilu 2019.

"Kalau diamati, setidaknya ada lima sampai sembilan titik yang akan dijadikan sasaran aksi teror, seperti aparat keamanan, simbol-simbol negara seperti Bawaslu dan KPU, serta objek-objek vital di sekitar kawasan itu," sebut Muradi.

Muradi menyebut, gangguan keamanan kecil kemungkinan terjadi di daerah. Pasalnya, semua perhatian kini terpusat ke Jakarta. Kalaupun muncul gangguan keamanan di daerah, kata Muradi, hal itu disebabkan Jakarta sudah tertutup dan kurangnya pengamanan di daerah. "Oleh karenanya, kewaspadaan aparat keamanan, khususnya di daerah perlu ditingkatkan," tandasnya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpas M Budiana mengatakan, diskusi yang diselenggarakan oleh Fisip Unpas bekerja sama dengan Forum Dialog Intelektual Jabar (FDIJ) ini bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa negara harus berjalan sesuai dengan konstitusi.

"Bahwa semua telah diatur dan berjalan lama. Kita sudah mengadakan pemilihan umum berkali-kali, ada yang menang dan yang kalah. Yang menang siap untuk dilantik dan yang kalah siap melakukan mekanisme sesuai konstitusi," katanya.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.5750 seconds (0.1#10.140)