Tekan Pengangguran, Pemprov Jabar Bakal Reformasi Sistem Pengupahan

Senin, 13 Mei 2019 - 16:01 WIB
Tekan Pengangguran, Pemprov Jabar Bakal Reformasi Sistem Pengupahan
Pemprov Jawa Barat akan melakukan reformasi sistem pengupahan sebagai salah satu upaya untuk menekan angka pengangguran. Foto/Dok SINDOnews
A A A
BANDUNG - Pemprov Jawa Barat akan melakukan reformasi sistem pengupahan sebagai salah satu upaya untuk menekan angka pengangguran. Reformasi sistem pengupahan dinilai penting, agar tidak semakin banyak perusahaan di Jabar yang kolaps.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Ade Afriandi menyatakan, reformasi sistem pengupahan menjadi salah satu dari enam action plan yang disiapkan pihaknya untuk membenahi ketenagakerjaan di Jabar, termasuk menekan angka pengangguran di Jabar.

Menurut dia, sistem pengupahan yang selama ini mengacu pada besaran upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang ditetapkan setiap tahunnya tidak serta merta mampu dilaksanakan setiap perusahaan di Jabar. Bahkan, tidak sedikit perusahaan di Jabar yang akhirnya harus gulung tikar akibat tak mampu membayar upah pekerjanya.

"Sesuai aturan, upah ini kan terkesan selalu dituntut naik setiap tahunnya. Ternyata, banyak perusahaan yang labil karena tidak mampu membayar upah pekerjanya," ungkap Ade di Bandung, Senin (13/5/2019).

Ade mengungkapkan, risiko gulung tikar yang harus diterima perusahaan ternyata tak lepas dari peran buyer. Bahkan, dia menyebut, buyer-lah penentu eksis tidaknya perusahaan di Jabar, terutama perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang garmen.

"Ternyata buyer ini yang punya merek. Ketika ada penangguhan (pembayaran upah), buyer ini tidak mau membeli. Bahkan, produk yang sudah dipesan pun tidak dibayar. Artinya, perusahaan harus membayar upah sesuai UMK, kondisi inilah yang dimanfaatkan buyer," ungkapnya.

Lebih parahnya lagi, lanjut Ade, bukan hanya karena alasan perusahaan tak mampu membayar upah pekerjanya, buyer pun tak segan-segan membatalkan pesanannya ketika perusahaan tak mampu membayar jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan para pekerjanya.

"Ketika perusahaan tak mampu membayar iuran BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), buyer juga membatalkan pesanannya. Buyer itu ibaratnya 'algojo'. Kondisi tentu sangat memberatkan perusahaan," beber Ade.

Kondisi tersebut, kata Ade, menjadi salah satu alasan utama pentingnya reformasi sistem pengupahan, agar tidak semakin banyak perusahaan yang gulung tikar. Terlebih, selama ini, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang garmen menyumbang lapangan pekerjaan yang signifikan di Jabar.

Menurut Ade, reformasi sistem pengupahan dimulai dengan pembentukan Gugus Tugas (Task Force) yang terdiri dari para profesional dan lembaga yang kompeten. Mereka akan bertugas menyusun masterplan sistem pengupahan di Jabar.

"Task force ini supaya kita terdorong, salah satunya untuk meng-hire mindset kami (terkait perilaku buyer). Kami tidak berbicara jabatan, ketokohan atau apa, tapi kita berbicara soal profesionalitas," jelas Ade seraya mengatakan, pihaknya juga akan melibatkan Internasional Labour Organization (ILO) untuk memberikan pelatihan kepada tenaga pengawas dan para mediator.

Lebih lanjut Ade mengatakan, pembenahan ketenagakerjaan yang akan dilakukan pihaknya terangkum dalam enam action plan. Selain mereformasi sistem pengupahan, action lainnya yakni mendorong penguatan komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi antara pengawasan dengan hubungan industrial.

Action ketiga yakni revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) guna memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja lokal, regional, maupun internasional. Keempat, optimalisasi mobile training unit di desa-desa agar calon tenaga kerja yang ada di desa tidak lari ke kota.

"Kelima, membuat sistem informasi navigasi migran service center. Sistem ini digunakan sebagai navigasi Disnakertrans untuk melacak trek para tenaga kerja Jawa Barat yang bekerja di luar negeri, sehingga ada back up data untuk memudahkan dalam mengambil kebijakan," jelasnya.

Terakhir, pihaknya juga membangun konsep democration of labour yang sudah diujicobakan pada saat May Day 2019 dengan menggelar peringatan May Day sebagai ajang kreativitas buruh tanpa mengurangi apa yang menjadi tuntutan buruh.

"Keenam action plan ini juga merupakan jawaban atas rilis BPS (Badan Pusat Statistik) terkait data pengangguran di Jawa Barat yang tertinggi se-Indonesia. Artinya, kami sudah merancang program agar angka pengangguran bisa diturunkan," tandasnya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Jabar Iwa Karniwa mengatakan, Pemprov Jabar terus berupaya menekan angka pengangguran di Jabar, salah satunya dengan menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen dengan indikator mampu mengantarkan kemiskinan, menekan angka pengangguran, dan kesenjangan ekonomi masyarakat.

Untuk mewujudkan indikator tersebut, kata Iwa, terdapat dua syarat utama yang harus dipenuhi, yakni peningkatan pembangunan infrastruktur dan daya saing daerah berupa peningkatan sumber daya manusia (SDM) secara kuantitatif maupun kualitatif.

"Maka, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah 5 persen lebih, APBD kita sebagian besar untuk pendidikan dan kesehatan. Apalagi, tahun 2018 lalu pertumbuhan kita sudah 5,4 persen tertinggi di Indonesia, ini harus kita pertahankan," katanya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.0881 seconds (0.1#10.140)