Tekan Risiko Gempa Sesar Lembang, Pemda Harus Tegas soal IMB

Jum'at, 26 April 2019 - 22:05 WIB
Tekan Risiko Gempa Sesar Lembang, Pemda Harus Tegas soal IMB
Deputi I Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Wisnu Widjaya (kanan) memaparkan materi dalam Diklat Teknis Penanggulangan Bencana bagi Wartawan. Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Pemerintah daerah (pemda) dituntut bersikap tegas dalam penerbitan izin pendirian bangunan di sepanjang jalur patahan aktif Sesar Lembang yang saat ini sudah masuk dalam siklus masa pelepasan energi.

Sesar Lembang yang membentang sepanjang 29 kilometer dari arah barat ke timur berpotensi menimbulkan gempa cukup besar dengan kekuatan antara 6,5 hingga 7 magnitude. Potensi gempa tersebut harus diwaspadai agar tidak menimbulkan banyak korban.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik R Daryono mengatakan, sepanjang jalur aktif Sesar Lembang tidak boleh dibangun. Oleh karenanya, pemerintah harus bersikap tegas dengan tidak lagi mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB) di kawasan tersebut.

"Tidak boleh ada lagi bangunan permanen yang berdiri di kawasan Sesar Lembang," tegas Mudrik dalam Diklat Teknis Penanggulangan Bencana bagi Wartawan yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Grand Setiabudi Hotel, Jalan Setiabudi, Kota Bandung.

Kegiatan diklat teknis yang digelar sejak Selasa 23 April 2019 lalu hingga Jumat (26/4/2019) ini mengupas potensi gempa bumi yang diakibatkan oleh Sesar Lembang. Diketahui, Sesar Lembang merupakan salah satu sesar aktif yang telah diteliti secara lengkap oleh sejumlah peneliti dari berbagai instansi.

Mudrik melanjutkan, mengingat besarnya ancaman gempa, sepanjang jalur Sesar Lembang harus dikosongkan dari segala bentuk bangunan vital, seperti sekolah, rumah sakit, dan bangunan-bangunan permanen lainnya.

Pasalnya, bangunan permanen yang dibangun di atas jalur sesar dipastikan hancur saat sesar tersebut bergerak. "Saat bergerak, sesar sepanjang 29 kilometer itu akan robek, sehingga bangunan tipe apa pun, semua akan hancur. Jadi daerah itu tidak boleh dihuni," tegasnya.

Meski begitu, Mudrik masih menolerir jalur Sesar Lembang dimanfaatkan, namun bukan untuk bangunan, melainkan cukup dijadikan areal pertanian atau sarana olahraga yang tidak menimbulkan dampak kehancuran yang berimbas pada nyawa manusia. "Kalau untuk areal pertanian atau misalnya jogging track, ga masalah. Pemerintah harus tegas," ujar Mudrik.

Mudrik pun memaparkan hasil penelitian paleoseismologi yang dilakukannya terhadap Sesar Lembang. Menurut dia, Sesar Lembang kini sudah memasuki tahap siklus masa pelepasan energi. Dia menyebutkan, gempa akibat Sesar Lembang terakhir kali terjadi pada tahun 1600-an dan selama 560 tahun terakhir, belum terjadi lagi gempa di Sesar Lembang.

"Sementara siklus masa pelepasan energinya sendiri terjadi antara 160-670 tahun. Sekarang sudah 560 tahun tidak bergerak. Jadi, (gempa) bisa terjadi sekarang atau 100 tahun dari sekarang. Fakta penelitiannya seperti itu, maka semua harus waspada," pungkasnya.

Senada dengan Mudrik, peneliti LIPI lainnya Eko Yulianto pun meminta pemerintah melarang pendirian bangunan di jalur Sesar Lembang. Hal itu ditegaskan Eko mengingat masih adanya masyarakat yang nekat mendirikan bangunan permanen di sepanjang jalur Sesar Lembang.

"Saat kami melakukan penelitian, kami menemukan sebuah bangunan resort mewah yang cukup besar, jaraknya hanya hitungan meter dari patahan Sesar Lembang," ungkapnya.

"Meski pembangunannya kini mangkrak, mungkin karena informasi soal Sesar Lembang, yang jadi pertanyaan besarnya, mengapa bangunan megah itu diizinkan berdiri," sambung Eko.

Bahkan, kata Eko, lokasi bangunan resort mewah tersebut hanya berjarak sekitar lima meter dari lokasi galian tempat dia melakukan penelitian Sesar Lembang. Dia pun mengaku tak habis pikir mengapa bangunan tersebut dapat berdiri di lokasi yang menjadi titik pusat gempa tersebut.

"Perlu adanya pemahaman dan sikap tegas dari pemerintah, agar jalur sesar tidak lagi digunakan untuk bangunan, apalagi bangunan permanen," tegasnya.

Meski tergolong aktif, lanjut Eko, masyarakat tak perlu menyikapi Sesar Lembang dengan rasa khawatir berlebihan. Sebaliknya, kata Eko, masyarakat harus mampu hidup harmoni dengan potensi gempa yang diakibatkan Sesar Lembang.

"Solusi konkrit untuk menghadapi ancaman gempa bumi Sesar Lembang adalah kita berusaha hidup harmoni dengan gempa ini," ujar Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI ini.

Solusi konkrit hidup harmoni ini, yakni menghindari pembangunan di sepanjang jalur Sesar Lembang, membangun bangunan tahan gempa bumi sesuai kaidah pembangunan sipil yang benar serta meningkatkan kampanye pembuatan ruang aman dan rumah tahan gempa di setiap rumah warga.

"Terakhir, pendidikan soal gempa bumi Sesar Lembang yang dapat memberikan pemahaman benar kepada masyarakat tentang ancaman gempa bumi Sesar Lembang dan pendidikan tanggap darurat ketika terjadi gempa bumi," pungkasnya.

Sementara itu, Jumat (26/4/2019), BNPB mulai memasang rambu-rambu di jalur Sesar Kembang. Sebanyak 30 rambu dipasang dan secara bertahap akan terus ditambah.

Deputi I Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Wisnu Widjaya mengatakan, pemasangan rambu bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat terkait Sesar Lembang dan potensi gempa yang diakibatkannya.

"Rambu juga dipasang di kawasan Tebing Keraton, agar masyarakat paham bahwa Tebing Keraton juga berdiri di atas jalur Sesar Lembang," katanya.

Selain memasang rambu, BNPB juga berencana melengkapi informasi lengkap soal Sesar Lembang di lokasi dengan teknologi quick respons code (QR Code).

Melalui teknologi tersebut, masyarakat akan disuguhi penjelasan terkait profil sesar, gempa terakhirnya, dan kenapa gempa bisa terjadi. "Ini untuk pendidikan, khususnya untuk kaum milenial," tandasnya.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 4.1799 seconds (0.1#10.140)