Kuasa Hukum Abdulkodir Sebut Penyaluran Dana Hibah Kabupaten Tasikmalaya Sesuai Prosedur

Senin, 08 April 2019 - 13:25 WIB
Kuasa Hukum Abdulkodir Sebut Penyaluran Dana Hibah Kabupaten Tasikmalaya Sesuai Prosedur
Sidang kasus dana hibah Kabupaten Tasikmalaya di PN Bandung, Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Senin (8/4/2019). Foto/SINDOnews/Agus Warsudi
A A A
BANDUNG - Tim kuasa hukum terdakwa Abdulkodir, mantan Sekda Pemkab Tasikmalaya, menilai penyaluran dana hibah Pemkab Tasikmalaya tahun anggaran 2017 sesuai prosedur, mekanisme, dan peraturan perundang-undangan. Dana hibah itu disalurkan ke penerima melalui transfer antara bank ke rekening ke penerima hibah.

Pernyataan itu disampaikan tim kuasa hukum Abdulkodir saat membacakan pleidoi atau pembelaan atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang yang digelar di PN Bandung, Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Senin (8/4/2019).

Bambang Lesmana, ketua tim penasihat hukum Abdulkodir mengatakan, kalaupun terjadi pemotongan dana terhadap 21 penerima, itu sudah di luar tanggung jawab dan bukan kesalahan Abdulkodir dan Bupati Tasikmalaya saat itu, Uu Ruzhanul Ulum . ‎‎

"Pemotongan dana hibah itu harus jadi tanggung jawab penerima hibah karena mekanisme penyaluran dana hibah sudah sesuai. Fakta penerima hibah menerima dana didukung oleh saksi penerima dana," kata Bambang.‎

Dalil bahwa penyaluran dana hibah telah sesuai prosedur dan mekanisme, ujar dia, juga didukung oleh saksi ahli yang dihadirkan di persidangan. Saksi ahli menyatakan, jika penerima dana hibah sudah menerima dana tersebut, tanggung jawab mutlak berada di penerima.

"Pendapat kami didukung oleh saksi ahli yang menyebutkan bahwa seharusnya penerima hibah tidak memberi uang terhadap setiap permintaan. Sepanjang permintaan tidak disertai ancaman, maka pemberian itu dianggap sukarela. Adapun saat penerima hibah mencairkan dana untuk apa dan siapa, itu mutlak tanggung jawab penerima hibah," ujar dia.

Dengan fakta persidangan yang didukung saksi ahli dan alat bukti bahwa mekanisme pemberian hibah sudah sesuai aturan, tutur Bambang, tim kuasa hukum berpendapat, unsur menyalahgunakan jabatan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

"Ketidakhadiran Pak Uu Ruzhanul Ulum di persidangan berdasarkan saksi-saksi yang menyebut ada perintah pencarian dana, harus dianggap sebagai pengakuan yang tidak terbantahkan dan kami memohon majelis hakim untuk mencatat fakta sidang itu dan jadi fakta hukum yang diakui kebenarannya," tutur Bambang.

Diketahui, pada persidangan pekan lalu, terdakwa Abdulkodir dituntut pidana penjara selama 2 tahun karena dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur di Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUH Pidana.

Pasal 3 berbunyi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Pendapat tim penasehat hukum ini sebenarnya terbantahkan dengan fakta sidang pada 10 November 2018 yang menghadirkan saksi penerima hibah. Saat itu, saksi-saksi menyebut, persyaratan penerima hibah ini tidak sesuai karena banyak penerima hibah yang belum berbadan hukum.

Namun, terdakwa Setiawan memanipulasi berkas persyaratan badan hukum penerima hibah sehingga seolah-olah sudah sesuai aturan penyaluran dana hibah. Seperti dikatakan saksi Komar (50), pemilik Yayasan dan Pesantren Al Munawaroh.

Sebelum kasus ini bergulir, Yayasan miliknya belum berbadan hukum. Namun, Setiawan mengurus semua persyaratan penerima hibah. Anehnya, Komar mendapat dana hibah dua kali, pertama pada Januari 2017 untuk yayasan dan akhir 2017 untuk pesantren. Padahal, aturan pemberian dana hibah hanya untuk sekali dalam satu tahun.

"Yayasan cair Rp150 juta pada Januari 2017 dan pondok pesantren Rp250 juta pada akhir 2017. Akta notaris dan SK Kemenkum HAM-nya diurus oleh Setiawan. Yayasan dan pontren saya memang sudah berdiri lama tapi baru diurus legalitasnya sekarang. Proposal juga dia (Setiawan) yang bikin, saya hanya tanda tangan saja dan buka rekening di Bank BJB," ujar Komar.

Dalam kasus ini, fakta persidangan mengungkap perintah Uu yang meminta Abdulkodir dan terdakwa Maman Jamaludin untuk dicarikan dana untuk program Musabaqah Qiroatil Kubro (MQK) dan pembelian hewan kurban. Namun, APBD Tasikmalaya tidak menganggarkan dana untuk itu.‎

Abdulkodir berinisiatif merencanakan pencairan dana hibah untuk 21 penerima dan setelah cair, terdakwa Setiawan melakukan pemotongan sebesar 90 persen. Majelis hakim sempat memanggil Uu dua kali ke persidangan namun Uu tidak pernah datang.‎

Kasus ini menyeret sembilan terdakwa, yakni Sekda Pemkab Tasikmalaya Abdulkodir, Kabag Kesra Maman Jamaludin, Sekretaris DPKAD Ade Ruswandi, Endin selaku Kepala Inspektorat Daerah, Alam Rahadian Muharam, dan Eka Ariansyah selaku staf ASN di Bagian Kesra. Sisanya non ASN yakni Lia Sri Mulyani, Mulyana, dan Setiawan. Kerugian negara Rp3,9 miliar.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.0085 seconds (0.1#10.140)