Guru Besar ITB Aplikasikan Teknologi Nano untuk Deteksi Penyakit Mematikan

Sabtu, 16 Maret 2019 - 18:03 WIB
Guru Besar ITB Aplikasikan Teknologi Nano untuk Deteksi Penyakit Mematikan
Guru Besar ITB Brian Yuliarto saat berorasi dalam Orasi Ilmiah Guru Besar ITB di Aula Barat Kampus ITB, Sabtu (16/3/2019). Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Brian Yuliarto mengembangkan rekayasa material berukuran nano hingga dapat digunakan menjadi sensor. Aplikasi teknologi nano tersebut mulai diterapkan dalam berbagai bidang, salah lagi satunya bidang kesehatan.

Dalam bidang kesehatan, Brian mengaku telah berhasil mengaplikasikan teknologi nano untuk mendeteksi penyakit mematikan seperti kanker . Lewat teknologi tersebut, Brian mengekstraksi material hingga berukuran nano untuk kemudian digunakan sebagai sensor. Selain kanker, berbagai jenis penyakit mematikan lainnya, seperti diabetes pun dapat dideteksi melalui teknologi tersebut.

"Seperti sensor untuk deteksi kanker prostat, itu kita ambil dari pasir di Tulungagung. Nah, kita coba ekstraksi pasirnya, kita buat menjadi sensor," ungkap Brian seusai Orasi Ilmiah Guru Besar ITB di Aula Barat Kampus ITB, Jalan Ganesha, Kota Bandung, Sabtu (16/3/2019).

Pengembangan teknologi nano dalam bidang kesehatan diharapkan menjadi solusi untuk menekan ketergantungan pada teknologi kesehatan yang dihasilkan luar negeri yang notabene sangat mahal. Sehingga, ke depan, Indonesia dapat mandiri dalam penerapan teknologi kesehatan.

"Saya pikir industri kesehatan kita kan semua masih tergantung pada impor, tinggi sekali dan sangat mahal. Harapannya, kita menjadi mandiri, khususnya untuk deteksi awal penyakit," katanya.

Pria kelahiran Jakarta, 27 Juli 1975 itu melanjutkan, selain pada bidang kesehatan, teknologi nano pun tengah dia kembangkan dalam bidang energi. Teknologi tersebut digunakan untuk mengonversi tenaga matahari menjadi listrik (solar cell). Brian mengaku sukses mengekstraksi kulit buah-buahan sebagai bahan baku solar cell.

"Kita memanfaatkan kulit buah-buahan yang berasal dari antosianin maupun klorofil, nah itu kita jadikan sebagai bahan baku solar cell," terangnya.

Bahkan, lewat teknologi nano pula, pihaknya tengah mengembangkan solar cell generasi ketiga, salah satunya solar cell berbasis dye sensitized. Dia yakin, pengembangan teknologi nano dalam bidang energi dapat menjadi pilar utama energi listrik masa depan. Terlebih, di Indonesia, solar cell belum dikembangkan secara maksimal.

"Saat ini belum ada industri kita yang mengembangkan solar cell. Karenanya, kita berharap, di masa depan, banyak industri di Indonesia mengembangkan solar cell," ujarnya.

Sementara dalam bidang lingkungan, Brian mengembangkan teknologi nano untuk menghasilkan sensor udara yang salah satunya dapat diaplikasikan untuk mendeteksi kebocoran gas-gas berbahaya di dunia industri. Tidak hanya itu, sensor yang dikembangkannya itu juga dapat diaplikasikan untuk mendeteksi polusi udara.

"Lewat teknologi nano, kita berharap Indonesia menjadi mandiri dan tak selalu bergantung pada luar negeri, baik dalam bidang teknologi kesehatan, energi, maupun lingkungan," tegasnya.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Nanosains dan Nanoteknologi ITB periode 2018-2019 itu, teknologi nano merupakan teknologi yang menjanjikan di masa depan dan perkembangannya di dunia pun sangat pesat. Oleh karenanya, kata Brian, Indonesia jangan sampai ketinggalan dalam pengembangan teknologi nano. Terlebih, Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah dan beragam.

"Material nano ini material yang menjanjikan di masa depan. Teknologi masa depan itu adalah teknologi nano. Dan kita di Teknik Fisika ITB telah mengembangkan aplikasi itu," katanya.

Meski begitu, Brian mengakui, pengembangan teknologi nano di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, khususnya terkait dana penelitian yang terbatas. Kondisi tersebut menurutnya berbeda jauh dengan pengembangan teknologi nano di luar negeri yang sangat pesat karena didukung kekuatan finansial yang besar.

Meski terkendala dana penelitian, Brian mengaku tetap bersemangat mengembangkan teknologi nano hingga terus menelurkan berbagai inovasi. Bahkan, Brian mengaku telah berhasil mengembangkan labotariumnya menjadi labotarium yang menarik, hidup, dan dinamis dimana hasil penelitiannya mampu bersaing dengan hasil penelitian di kampus-kampus ternama di luar negeri.

Untuk menyiasati keterbatasan dana penelitian, Brian berupaya membangun jejaring dengan para peneliti di kampus-kampus ternama, baik di Indonesia maupun luar negeri. Bahkan, agar teknologi nano semakin berkembang, dia pun mengajak para mahasiswanya untuk melakukan penelitian serupa.

"Kebersamaan inilah yang mungkin kita bisa jadikan kekuatan untuk bersaing melawan pengembangan teknologi nano di luar negeri yang jelas sangat maju," pungkasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.3571 seconds (0.1#10.140)