10.487 Balita di Kabupaten Bandung Barat Mengalami Stunting

Jum'at, 20 Juli 2018 - 23:23 WIB
10.487 Balita di Kabupaten Bandung Barat Mengalami Stunting
Kepala Dinas Kesehatan KBB Hernawan Widjajanto. Foto/SINDOnews/Adi Haryanto
A A A
BANDUNG BARAT - Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat (KBB) mencatat ada 10.487 balita, tepatnya 0-59 bulan, di KBB yang terindikasi mengalami stunting atau bertubuh pendek/kerdil. Data itu berdasarkan dari hasil temuan langsung di lapangan pada kegiatan Bulan Penimbangan Balita 2017 yang dilakukan pada bulan Agustus di 165 desa yang ada di KBB.

Kadinkes KBB Hernawan Widjajanto mengatakan, angka tersebut setara dengan 7,67% dari jumlah balita yang ada yakni sebanyak 139.062 anak. Anak yang menjalani proses penimbangan berjumlah sebanyak 136.735 anak. Setiap tahun Bulan Penimbangan Balita ini digelar setiap bulan Agustus, sehingga bulan depan kegiatan ini kembali dilakukan untuk mengetahui berapa penderita terbarunya.

"Memang setiap tahun rutin dilakukan pemeriksaan (stunting). Berdasarkan angka tren penderitanya terus menurun dari asalnya 11% kini menjadi hanya 7,67%," kata Hernawan yang didampingi Kabid Kabid Yankesmas Maqdesi, Jumat (20/7/2018).

Dia menyebutkan, KBB diamanatkan oleh pusat untuk melakukan prioritas penanganan stunting ini di 10 desa. Kesepuluh desa itu adalah Desa Sindangkerta, Desa Jatimekar, Desa Tanjungwangi, Desa Patarumam, Desa Cipatik, Desa Jati, Desa Saguling, Desa Ciburuy, Desa Cimerang, dan Desa Ciptagumati.

Dipilihnya desa-desa itu karena jumlah penserita stuntingnya cukup banyak. Ada lima desa di antaranya yakni Desa Sindangkerta, Desa Jatimekar, Desa Tanjungwangi, Desa Patarumam, dan Desa Cipatik yang mendapatkan bantuan penanganan dari luar negeri dalam bentuk kegiatan.

Dia menjelaskan, stunting bisa dilihat dari penampilan luar ketika ada anak di bawah usia 10 tahun yang tingginya tidak normal atau tidak sama dengan anak seusianya. Kondisi itu bisa terjadi karena faktor lingkungan dan perilaku keluarga serta masyarakatnya, misalnya asupan gizi yang kurang, pola hidup yang tidak sehat, akses air bersih yang kurang, dan lain-lain. Sementara, faktor genetika atau keturunan hanya berkontribusi sebesar 5% terhadap penyebab stunting.

Terpisah, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) KBB Asep Wahyu menyatakan, pihaknya turut melakukan intervensi dalam menanggulangi persoalan stunting. Selain oleh Dinkes, penanganan stunting memerlukan dukungan dari berbagai institusi lainnya, karena persoalan ini saling keterkaitan mulai dari kesehatan, pendidikan, lingkungan, wawasan, dan perilaku ibu hamil.

"Kalau di kami penanganannya biasanya melalui kader-kader yang ada di kelompok Bina Keluarga Balita, Bina Keluarga Remaja, dan Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja," ucapnya.

Menurut Asep, ada juga kotak instrumen terbaru yang berupa alat permainan edukatif (APE). Satu unit APE senilai Rp2,5 juta ditujukan untuk satu RW pada desa sasaran dengan sumber anggarannya itu dari Dana Alokasi Khusus. Selain melalui APE, pihaknya pun bakal melakukan sosialisasi mengenai stunting.

"Nantinya di dalam program Bina Keluarga Balita itu dilakukan penyuluhan kepada orang tua balita. Salah satu substansinya adalah stunting," pungkasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.4520 seconds (0.1#10.140)