Sidang Suap Meikarta, Nama James Riady Kembali Disebut

Rabu, 27 Februari 2019 - 14:17 WIB
Sidang Suap Meikarta, Nama James Riady Kembali Disebut
Konglomerat James Riady (mengenakan jas dan berkacamata) saat hadir sebagai saksi di sidang kasus suap Meikarta. Foto/Dok/SINDOnews
A A A
BANDUNG - Nama James Riady, petinggi Lippo Group, kembali disebut dalam persidangan perkara suap perizinan proyek Meikarta dengan terdakwa Neneng Hasanah Yasin dan empat anak buahnya di Pengadilan Tipikor Bandung, Jalan RE Martadinata, Rabu (27/2/2019).

Selain Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah Yasin, disidangkan pula empat penjabat di Pemkab Bekasi yakni Jamaludin selaku Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi; Dewi Tisnawati selaku Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Pemkab Bekasi; Sahat Maju Banjarnahor selaku Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi; dan Neneng Rahmi Nurlaili selaku Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Pemkab Bekasi.

Jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK kembali menyinggung pertemuan antara Neneng, James Riady, Billy Sindoro, dan Bartolomeus Toto di rumah dinasnya pada Januari 2018. Dalam pertemuan itu, selain menjenguk Neneng yang baru melahirkan, James juga mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) proyek Meikarta.

"Pertemuan tersebut juga membicarakan tentang perkembangan perizinan pembangunan Meikarta," kata jaksa KPK membacakan surat dakwaan.

Setelah itu, pada Mei 2018, Lippo Cikarang mengajukan permohonan IMB untuk 53 apartemen dan 13 basement. "Permohonan tersebut dimasukkan melalui Bidang Tata Ruang dan Bangunan," ujar jaksa.

Terkait pertemuan itu, JPU telah menghadirkan James Riady di persidangan untuk terdakwa Billy, Fitradjaja, Taryudi, dan Henry Jasmen. James mengaku pernah bertemu dengan Neneng, tetapi bukan membahas Meikarta, melainkan hanya menjenguk Neneng yang baru melahirkan. (Baca Juga: Konglomerat James Riady Akui Bertemu Neneng Hasanah
"(Suap diberikan) agar para terdakwa (Neneng Cs) memberikan kemudahan dalam pengurusan izin mendirikan bangunan atau IMB kepada PT Lippo Cikarang melalui PT Mahkota Sentosa, yang mengurus perizinan pembangunan proyek Meikarta," tutur jaksa.

Uang suap untuk Neneng Cs Rp16.182.020.000 dan SGD270.000 atau total Rp18 miliar lebih. Neneng Cs disebut memiliki peran berbeda-beda tapi terkait perizinan proyek Meikarta. Neneng Hasanah Yasin mendapatkan jatah Rp10.830.000.000 dan SGD90 ribu.

Untuk mengurus perizinan Meikarta yang diawali dengan IPPT atau izin peruntukan penggunaan tanah, PT Lippo Karawaci menugaskan sejumlah orang, yakni Billy Sindoro (mantan CEO PT Siloam Hospital yang dipekerjakan lagi sebagai karyawan PT Lippo Karawaci berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu)
Kemudian, Bartholomeus Toto (Presiden Direktur PT Lippo Cikarang); Edi Dwi Soesianto (Kepala Divisi Land Acquisition and Permit PT Lippo Cikarang); Satriadi (karyawan PT Lippo Cikarang); Henry Jasmen P Sitohang (konsultan perizinan proyek Meikarta); Fitradjaja Purnama (konsultan perizinan proyek Meikarta); dan Taryudi (konsultan perizinan proyek Meikarta).

Satriadi kemudian membuat konsep IPPT. Setelah itu, dia bersama Edi menemui E Yusup Taupik selaku Kepala Bidang Tata Ruang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemkab Bekasi. Yusup pun meminta agar IPPT itu diajukan ke Dinas PMPTSP Pemkab Bekasi.

IPPT yang dimohonkan dengan luas 143 hektare itu kemudian diteliti di Dinas PMPTSP Pemkab Bekasi. Hasilnya, izin yang bisa diberikan hanya 84,6 hektare sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi.

Edi dan Satriadi kemudian menemui Bupati Neneng terkait penerbitan IPPT Meikarta. Singkat cerita, IPPT Meikarta seluas 84,6 hektare diterbitkan Bupati Neneng pada 12 Mei 2017. Neneng pun meminta komitmen uang Rp 10 miliar.

"Atas persetujuan Bartholomeus Toto, Edi Dwi Soesianto kemudian mengambil uang Rp10.500.000.000 dari Melda Peni Lestari, yang merupakan sekretaris direksi PT Lippo Cikarang, dan dari Bartholomeus Toto bertempat di helipad PT Lippo Cikarang," ungkap jaksa.

Uang itu kemudian dialirkan Edi Dwi Soesianto secara bertahap. Pada Juni 2017, Edi Dwi Soesianto menyerahkan Rp2,5 miliar ke Yusup Taupik di kantor Lippo Cikarang di sebuah ruko depan pom bensin. Yusup Taupik kemudian mengantarkan uang itu ke rumah pribadi Bupati Neneng.

Juli 2017, Edi Dwi Soesianto kembali menyerahkan Rp2,5 miliar ke Yusup Taupik di kantor Lippo Cikarang. Yusup Taupik kemudian mengantarkan uang itu ke rumah pribadi Bupati Neneng, tetapi diterima sekretaris pribadi Neneng yang bernama Agus Salim.

Kemudian, pada Agustus 2017, Edi Dwi Soesianto menyerahkan Rp2 miliar ke E Yusup Taupik, yang diteruskan ke Bupati Neneng. Pada Oktober 2017, Edi Dwi Soesianto kembali menyerahkan Rp2 miliar dalam bentuk mata uang Dolar Amerika Serikat ke E Yusup Taupik. Selanjutnya, Yusup Taupik mengantarkan Rp1,5 miliar untuk Bupati Neneng. Sisanya, Rp500 juta dikantongi E Yusup Taupik.

November 2017, Edi Dwi Soesianto menyerahkan Rp1 miliar ke Yusup Taupik, yang diteruskan ke Bupati Neneng. Januari 2017, Edi Dwi Soesianto menyerahkan Rp500 juta ke Yusup Taupik di jalan dekat kantor PT Lippo Cikarang. Yusup Taupik kemudian menyerahkan uang itu ke Agus Salim (sopir pribadi Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah) di parkiran kantor Bupati Bekasi.

Seusai JPU membacakan dakwaan, majelis hakim meminta para terdakwa untuk konsultasi dengan penasihat hukum masing-masing. Setelah konsultasi, Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah Yasin menyatakan tidak mengajukan eksepsi. Juga terdakwa Jamaludin (Kadis PUPR Bekasi), Kadis Damkar Sahat MBJ Nahor, Kadis PMPTSP Dewi Tisnawati, dan Kabid Penataan Ruang Dinas PUPR Neneng Rahmi Nurlaili. Keempat terdakwa pun tak mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan jaksa.

"Kompak ya Pak jaksa. Karena para terdakwa tidak mengajukan eksepsi, maka tadi sebenarnya saya sudah susun jadwal. Tapi karena ternyata terdakwa tidak eksepsi, sidang selanjutnya langsung pemeriksaan saksi minggu depan," kata hakim.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1011 seconds (0.1#10.140)