Indonesia Butuh Smart People untuk Kurangi Golput dan Berantas Hoax Pemilu 2019

Selasa, 12 Februari 2019 - 09:13 WIB
Indonesia Butuh Smart People untuk Kurangi Golput dan Berantas Hoax Pemilu 2019
Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro, mengatakan di negara manapun pernak-pernik nuansa kompetisi tidak bisa dielakkan dalam pilpres. Foto Dok SINDOnews
A A A
SUKABUMI - Maraknya hoax menjelang Pilpres 2019 ini menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Setelah Indonesia berhasil dengan pilkada serentak 2018, hoax menjadi fenomena pilpres tersendiri. Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro, mengatakan di negara manapun pernak-pernik nuansa kompetisi tidak bisa dielakkan dalam pilpres. Maka perkataan bohong atau sepak terjang politik yang menarik pasti ada.

Namun menurutnya masyarakat sekarang lebih kritis sehingga tidak bisa dibohongi lagi. Indonesia kini membutuhkan 'smart people' (orang yang cerdas) sehingga peran elit tidak lagi terlalu diperlukan. Masyarakat punya daya nalar sebagai pemilih. Ketika calon (baik Capres maupun Caleg) mendemonstrasikan program-program yang membumi dan langsung menyentuh hal-hal yang paling mendasar, masyarakat (pemilih) akan tersentuh dan ikut merasakan. Dan untuk saat ini kebijakan ekonomi sangat dibutuhkan masyarakat.

"Jokowi harus mampu meyakinkan masyarakat untuk bisa mengsugesti masyarakat, dan Prabowo harus mampu menandinginya", ujar peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, R Siti Zuhro, di Sukabumi, Jawa Barat.

Menurut dia, jika angka swing voter atau golput masih tetap bertahan, berarti masih ada yang salah dengan kedua pasangan calon. Karena itu menurut Siti kedua calon harus mampu meyakinkan dan membuat pemilih hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Bagaimanapun masyarakat diperlukan dalam demokrasi. Tidak akan ada demokrasi tanpa partisipasi masyarakat. Dan tidak akan demokrasi juga tanpa representatif wakil-wakil rakyat di DPR RI. Tanpa masyarakat demokrasi kita menjadi hambar dan tidak bermakna karena merekalah (masyarakat) pemegang kedaulatan yang sebenarnya. Sayangnya menurut Siti Juhro hal itu jarang dikembangkan.

Masyarakat jarang dihormati sebagai warga negara karena itu elit politik harus mampu membuat masyarakat yang mempunyai ownner ship, yang kuat terhadap bangsa .

"Masing-masing capres sudah mempunyai ceruk suara, tinggal mereka harus cerdas mengambil swing voter dan undicided voter, " ujar Siti Juhro dalam pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (12/2/2019).

Sebagai petahana, Joko Widodo (Jokowi), kata dia, harusnya bisa menjawab secara detil melalui menteri-menterinya. Sehingga siapapun yang melakukan kebohongan, mereka akan mendapat kulminasi dan mendulang akibatnya masyarakat yang sekarang cerdas.

Pada kesempatan itu, untuk menjaga pemilu yang damai, aman dan kondusif, Siti Juhro juga mengajak masyarakat dan seluruh pihak untuk saling percaya dan saling menghormati. Disisi lain kita juga harus menaruh hormat (respek) kepada Polri, TNI dan semua institusi. Belajar dari pelaksanaan Pilkada serentak, tentu aparat Polri harus mampu menjaga hubungan baik dengan semua pihak. "Hentikan ujaran kebencian, sebab setiap agama pasti mengajarkan kebaikan", tegas Siti Juhro.

Pilkada serentak yang telah berlangsung di 171 daerah tahun 2018 padahal didaerah-daerah strategis lumbung suara tapi justru bisa berlangsung damai. Dan itu bisa menjadi pemantik atau starting point penciptaan pelaksanaan pemilu di 2019 yang kondusif.

Karena dengan praktik pilkada serentak di 171 daerah yang notabenenya ikut menentukan kalau kita jadikan barometer seperti apa perolehan suara yang akan terjadi pada pemilu serentak di 2019 itu akan terbaca di 2018 yang justru tidak ada keributan yang bahkan bernuansa vilonce.

"Ini yang kita sebut sebagai pembangunan prakondisi yang betul-betul menjadi midelitas kita dalam menjalani, menapaki tahapan-tahapan dari pemilu serentak 2019, yang disitu ada pemilu legislatif dan disisi lain ada pemilu Presiden," ujar Siti Juhro optimistis.

Meski diketahui bahwa antara Pilpeg dan Pilpres pada 2019 ternyata Pilpres luar biasa lebih dominan. Jadi asumsi situasi yang kondusif pada pelaksanaan Pilkada di Jakarta pada tahun 2017 bisa dikatakan menjadi pendorong bagi terjadinya suatu kecenderungan terjadinya konflik di pilkada 2018 ternyata tidak ada samasekali terjadi.

Kalaupun terjadi asumsinya ada di Pilkada Jawa Barat, Kalimantan Barat bahkan di Jawa Timur. Tapi semua asumsi itu dipatahkan oleh kejadian pilkada serentak tahun 2018 yang ternyata senyap dan damai saja.

"Kita justru menyaksikan konstentasi yang ditunjukkan oleh para calon kepala daerah baik itu di provinsi maupun kabupaten/kota sangat elok. Baik dari aspek konstitusi maupun debat didepan khalayak masyarakat lokal yang ditayangkan pada TV nasional, itu sangat menggembirakan kita karena bisa menjadi landasan bagi kita bahwa pemilu 2019 akan terjadi chaos, kerusuhan, kekerasan dan sebagainya," paparnya.

Karena ini akan membebani institusi penegak hukum kalau hal itu dibesar-besarkan, padahal tidak. " Saya termasuk yang berargumentasi di Pilkada 2018 itu bahwa Pilkada 2018 jangan didorong-dorong seolah-olah didaerah tertentu akan rusuh/konflik," ungkapnya.

Siti menegaskan, bahwa kasus pilkada di DKI pun tidak ada kerusuhannya, hanya saja kaum elitnya yang sembrono karena berargumentasi yang menyentuh urusan agama. Itu yang seharusnya jangan dilakukan.

"Hal ini tidak boleh terulang lagi pada Pemilu serentak 2019. Sebab kita sepakat bersama untuk bagaimana menjaga pemilu yang damai, berkualitas, berintegritas dan penuh peradaban betul-betul berlangsung. Jadi pemilu ini adalah pertanda dari bagaimana kita menjalankan konsolidasi demokrasi. Itu yang sesungguhnya paling penting," timpalnya.

Siti Juhro juga menerangkan, ada kemuliaan dari masyarakat Indonesia yang tentu memiliki nilai-nilai budaya lokalnya tersendiri. Jadi pada saat-saat tertentu dimana terjadi silang pendapat, begitu meruncing sampai pada titik kulminasi langsung cooling down sendiri. Dan itu yang ditandai oleh Pilkada 2017.

Ketika mencapai titik kulminasinya pada ketidakpuasan dan kekecewaan yang dimuntahkan waktu itu sudah sampai disitu saja. Habis itu cooling down dan langsung menyadari bahwa kita ini adalah 'unity diversity', kita menyadari bhineka tunggal ika, bahwa kemajemukan itu menjadi kekuatan bagi kita. Jadi ada semacam pemahaman secara kolektif bagi masyarakat Indonesia untuk tidak terus menerus melanjutkan saling-saling yang negatif, melainkan digantikan menjadi yang saling positif.

Masyarakat sudah jengah dengan sensasi dan 'bluffing' dan sebagainya dari para pasangan calon yang ada. Kejengahan masyarakat saat itu disampaikan kepada publik, dua pasangan calon tolong hentikan cara-cara seperti itu. Kita hanya butuh menyaksikan kualifikasi, kualitas, karakter kepemimpinan dari dua pasang calon bukan yang lain. Masyarakat bisa mengatakan itu untuk menjaga dan mengawal untuk juga mengatakan jangan diteruskan hal-hal yang buruk itu.

"Ini adalah konstentasi untuk pemimpin ditingkat nasional bukan di level RT/RW. Jadi ada reminder (pengingat) dari civil sociaty (publik) yang terjaga 24 jam untuk itu," tandas Siti Juhro.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.8299 seconds (0.1#10.140)