'Uang Pelicin' Proyek Meikarta Digunakan untuk Khitanan Massal

Senin, 28 Januari 2019 - 16:33 WIB
Uang Pelicin Proyek Meikarta Digunakan untuk Khitanan Massal
Sidang kasus Meikarta di Pengadilan Tipikor pada PN Bandung, Senin (28/1/2019). Foto/SINDOnews/Agus Warsudi
A A A
BANDUNG - Asep Buchori selaku Kepala Bidang Penyuluhan dan Pencegahan Dinas Damkar Kabupaten Bekasi menerima uang ratusan juta dari pengembang Meikarta terkait perizinan pemasangan alat pemadam kebakaran di 53 tower di proyek Meikarta .

'Uang pelicin' tersebut digunakan oleh Asep untuk kepentingan pribadi. Di hadapan majelis hakim, Asep menggunakan sebagian uang yang diterimanya untuk membangun masjid dan menggelar acara khitanan massal untuk anak-anak kurang mampu.

Dari empat kali penerimaan dana dari pengembang Meikarta, Asep mendapatkan uang sekitar Rp286 juta. "(Tiap penerimaan uang) dari Rp200 juta, saya dapat Rp70 juta. Uangnya digunakan (pribadi) untuk bangun masjid dan sunatan massal," kata Asep.

Asep mengemukakan bahwa total uang yang masuk untuk perizinan pengadaan alat pemadam kebakaran sebesar Rp1,06 miliar. Uang itu merupakan commitment fee pengadaan alat pemdam kebakaran Rp20 juta per tower.

Saat ditanya jaksa dari KPK, Sahat mengaku pernah diminta pihak pengembang Meikarta untuk mengeluarkan rekomendasi pemasangan alat instalasi kebakaran. Sahat lalu menyuruh Kabid Penyuluhan dan Pencegahan Diskar Asep Buchori untuk meminta pengembang Meikarta membuat surat permohonan.

"Surat permohonan diajukan sekitar awal Maret 2018 melalui Satriadi. Surat permohonannya untuk 53 tower. Rekomendasi pemasangan alat instalasi kebakaran ini sebagai syarat lampiran IMB. Aturannya tertuang dalam Perbup Bekasi Tahun 2013 tentang IMB," kata Sahat.

Lalu, jaksa kembali menanyakan apakah Satriadi dan Edi Soesianto (utusan pengembang Meikarta) meminta agar menyampaikan rekomendasi dipercepat. Sahat mengungkapkan, pada waktu itu Edi Soesianto meminta agar proses dipercepat.

"Waktu itu Pak Kabid meminta agar ketemu saya dengan Pak Edi dan Satriadi, akhirnya saya sempatkan. Pak Edi Soesianto dan Pak Satriadi menyampaikan kesepakatan pimpinan pengembang dan bupati agar perizinan dipercepat," ujar dia.

Sahat mengaku, sebagai kepala dinas dia hanya melaksanakan peraturan. Menurut dia, setidaknya ada 10 tahapan yang harus dilakukan. Mulai dari pemeriksaan site plan, ekspose, survei lapangan, berita acara, rekomendasi, pengawasan pemasangan alat, pemeriksaan alat, pengujian, berita acara, menerbitkan surat layak pakai.

Disinggung mengenai kesepakatan atau pemberian uang, Sahat mengaku menyampaikan kepada tim untuk dihitung berapa kebutuhan riil yang diperlukan dan untuk melakukan studi banding damkar DKI dan Kota Bekasi.

Apalagi, Kabupaten Bekasi baru pertama mengeluarkan rekomendasi untuk apartemen dan rumah sakit. Setelah dihitung kebutuhan riil Rp20 juta per tower.
"Sehingga total dana Rp1 miliar 67 juta. Semua biaya di bawah pemeriksaan ditanggung pemilik bangunan," ujar Sahat.

Commitmen fee Rp20 juta per tower, ungkap Sahat, disepakati antara Asep Buchori dengan pihak pengembang. "Waktu itu permohonan yang mengajukan Edi Soesianto dan Satriadi. Tetapi terkait jumlah dana, Pak Asep dengan Henry Jasmen tau," kilah Sahat.

Dia menyampaikan bahwa Bupati Bekasi Neneng Hasanah meminta rekomendasi dipercepat. Jaksa melanjutkan, terkait dugaan 'backdate' pada sejumlah dokumen perizinan, apakah sudah dimulai sebelum proses pengurusan izin selesai?

"Saya tidak mengetahui dibuat tanggal mundur yang saya tahu Pak Asep dapat permintaan dari pengembang Meikarta. Tahu soal backdate pada saat ditanyakan dalam penyidikan. Mundur tidak tahu," kata jaksa membacakan berita acara pemeriksaan Sahat.

Sementara itu, terkait uang dari Henry Jasmen, Sahat mengakui mendapatkan uang secara bertahap. Pertama, pada Mei 2018 mendapatkan Rp200 juta. Uang yang dimasukkan ke dalam mobil Asep itu diberikan Henry Jasmen.

Kemudian uang dibagi untuk Asep Rp70 juta dan Sahat menerima Rp130 juta. Tahap kedua pada Juni 2018, menerima uang Rp300 juta yang kemudian dibagi kepada Asep sebesar Rp120 juta. Tahap ketiga pada Juli 2018, diterima Asep di Mustika Jaya. Sahat mendapatkan Rp150 juta dan Asep Rp70 juta.

Sedangkan tahap terakhir yang diterima Sahat dan Asep pada 11 Oktober 2018. Saat itu, Henry Jasmen memberikan amplop kepada Asep di sebuah restoran di Bekasi. Isinya uang rupiah dan Dolar Singapura. Keesokan harinya uang tersebut ditukar dan didapatkan Rp230 juta. Asep mendapatkan Rp60 juta dan sisanya Rp170 juta untuk Sahat.

"Total yang saya terima Rp610 juta. Jadi, sisanya untuk biaya pemeriksaan operasional pemasangan alat kebakaran. Seminggu sebelum Lebaran, bupati bilang lagi memerlukan uang. Sehari sebelum Lebaran menghadap beliau memberi Rp30 juta," ungkap Sahat.

Selain Sahat Banjarnahor dan Asep Buchori, dalam sidang lanjutan kasus suap proyek Meikarta di Pengadilan Tipikor pada PN Bandung, Senin (28/1/2019), JPU dari KPK jga menghadirkan enam saksi lain.

Keenam saksi lain itu yakni Sekda Jabar Iwa Karniwa dan mantan Kadis Binamarga Jabar M Guntoro. Kemudian, mantan Kadis Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Daryanto, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Kuswaya; Kadis Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jabar Dadang Mochammad, dan staf Dinas Bina Marga Provinsi Jabar Yani Firman. Mereka bersaksi untuk terdakwa Billy Sindoro, Henry Jasmen, Fitradjaja Purnama, dan Taryudi. (Baca Juga: Sidang Kasus Meikarta, Sekda Jabar Iwa Karniwa Jadi Saksi(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2803 seconds (0.1#10.140)