Dedi Mulyadi Tak Ambil Pusing Isu Kemiskinan Terus Digoreng Oposisi

Kamis, 17 Januari 2019 - 13:13 WIB
Dedi Mulyadi Tak Ambil Pusing Isu Kemiskinan Terus Digoreng Oposisi
Ketua TKD Jokowi-Maruf Dedi Mulyadi menyapa masyarakat seusai kegiatan Safari Budaya di Kabupaten Karawang, Rabu 16 Januari 2019 malam. Foto/SINDOnews/Agung Bakti
A A A
KARAWANG - Data statistik kemiskinan di Indonesia dinilai masih lemah dan kerap dijadikan celah oleh pihak oposisi untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi, khususnya terkait program kesejahteraan rakyat.

Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan, pihaknya tak ingin ambil pusing terhadap kritikan soal kemiskinan yang kerap digoreng pihak oposisi tersebut.

Dedi menilai, wajar pihak oposisi terus mengkritisi kebijakan-kebijakan Jokowi soal kemiskinan. Sebab, data statistik kemiskinan di Indonesia memang belum sempurna. Padahal, angka kemiskinan di Indonesia telah mengalami penurunan yang cukup signifikan.

"Kalau petahana menghadapi oposisi, tidak mesti (kritikan) dilawan frontal. Sajikan saja, kita mengevaluasi kinerja ini karena tidak mungkin ada manusia yang sempurna, tidak mungkin juga manusia tidak ada baiknya," kata Dedi saat ditemui seusai kegiatan Safari Budaya di Kampung Wadas, Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, Rabu 16 Desember 2019 malam.

Ketua DPD Partai Golkar Jabar itu juga mengakui, di antara segudang prestasi Jokowi dalam memimpin pemerintahan di periode pertamanya, pastilah ada kekurangan. Meski begitu, Dedi memastikan, Jokowi yang kini maju bersama Ma'ruf Amin di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan terus memperbaiki kekurangan tersebut.

"Kalau Pak Faisal Basri (ekonom) mengatakan, kita harus jujur Indonesia semakin baik, kita harus jujur harga stabil, kita harus jujur tiga tahun ini harga listrik tidak naik. Itu kan jujur, tapi kan di antara jujur pasti ada kekurangan, kekurangan itu mari kita sempurnakan," tutur Dedi.

Dedi menegaskan, berdasarkan grafik data terakhir, kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan menyusul efektivitas sejumlah program kesejahteraan rakyat yang diusung pemerintahan Jokowi, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan pangan non-tunai yang manfaatnya telah dirasakan langsung masyarakat.

"Penurunan itu sebenarnya akan lebih tajam lagi apabila dilakukan upaya pemutakhiran data karena kita paham betul bahwa data yang disajikan dalam bentuk sensus banyak tidak tepat sasaran dalam aspek teknis," jelas Dedi.

Contohnya, lanjut Dedi, ada orang yang menerima dana PKH tapi kelihatan mampu, ada orang yang menerima bantuan pangan nontunai, tapi kelihatan mampu, tapi yang tidak mampu tidak mendapat. "Itu yang menjadi problem kita saat ini," katanya.

Dedi pun bahkan tak ragu ikut mengkritisi kebijakan pemerintah yang kerap menjadikan data statistik yang lemah itu sebagai acuan, seperti dalam pengambilan kebijakan terkait penganggaran di APBN maupun APBD.

"Sekarang kan pengambilan keputusan APBN, APBD menggunakan statistik data BPS tiga tahun lalu. Saran saya, survei dilakukan berkala setiap tahun. Survei pilpres saja bisa tiap minggu, masak data statistik yang dipakai menu APBN jadul," ujar Dedi.

Menurutnya, kondisi tersebut harus segera diperbaiki melalui rekonsiliasi data antara data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data yang dikeluarkan oleh setiap pemerintah daerah, baik pemerintah kabupaten, kecamatan, hingga pemerintah desa.

Dia berharap, ke depan, setiap pemerintahan daerah mengalokasikan anggaran untuk melakukan survei secara berkala. Dengan begitu, lanjut Dedi, survei tidak melulu harus dibiayai oleh pemerintah pusat, melainkan ditanggung bersama dengan pemerintah daerah.

"Sehingga, survei bisa dilakukan setiap tahun agar data itu up to date dan kebijakan yang dikeluarkan menjadi tepat sasaran," katanya.

Untuk lebih menekan biaya survei, Dedi menyarankan pemerintah daerah juga menggandeng aparat kewilayahan, seperti ketua RT dan RW sebagai tenaga pendamping survei. Sehingga, tak perlu lagi melakukan pelatihan petugas saat akan melakukan survei.

"Setiap ketua RT atau RW harus mengantongi data hasil survei yang terintegrasi dengan data survei di tingkat desa dan kecamatan. Sehingga, data tersebut nantinya mudah diakses, seperti lewat telepon. Jadi tinggal buka, tidak seperti sekarang, masih pakai buku jadul," katanya.

Agar angka kemiskinan dapat terus ditekan, Dedi pun meminta pemerintah menambah kuota jumlah penerima manfaat program kesejahteraan rakyat. Di Jabar, kata Dedi, penerima PKH kini mencapai 1,7 juta jiwa. Dia mengusulkan agar pemerintah menambah hingga 2 juta jiwa.

"Jabar itu kan penduduknya tinggi, saya usulkan kuota tambah dong menjadi 2 juta. Bukan menganggap daerah itu miskin, tapi untuk semakin meningkatkan kesejahteraan publik dengan menekan angka biaya hidup," jelasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.8299 seconds (0.1#10.140)