Majelis Hakim Tolak Pencabutan Hak Politik Abubakar

Senin, 17 Desember 2018 - 18:09 WIB
Majelis Hakim Tolak Pencabutan Hak Politik Abubakar
Abubakar, mantan Bupati Bandung Barat saat menyampaikan tanggapan atas vonis yang diterimanya. Foto/SINDOnews/Agus Warsudi
A A A
BANDUNG - Selain menjatuhkan vonis lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), majelis hakim yang diketuai oleh I Dewa Gde Suardhita juga menolak mencabut hak politik Abubakar.

Dalam putusannya, menilai Abubakar, mantan Bupati Bandung Barat itu, tak akan kembali ke politik mengingat usia sudah tua dan telah dua kali menjabat Bupati. Diketahui, Abubakar merupakan kelahiran 1952 atau saat ini berusaia 66 tahun.

Dengan putusan itu, berarti Abubakar masih bisa menggunakan hak pilih pada Pilpres 2019 dan Pileg 2019 mendatang.

Penolakan tersebut tertuang dalam putusan hakim yang dibacakan majelis hakim dalam sidang di ruang 1 Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Senin (17/12/2018).

"Menimbang jaksa penuntut tentang hukuman tambahan pencabutan hak politik selama 3 tahun sejak putusan pengadilan. Majelis hakim berpendapat hukuman tambahan tidak akan berimbas kepada terdakwa," kata Suardhita.

Diketahui, Abubakar, mantan Bupati Bandung Barat, terdakwa kasus suap Rp1,29 miliar, dinyatakan bersalah melakukan korupsi dan dihukum dengan hukuman 5 tahun dan enam bulan atau 5,5 tahun penjara.

Selain itu, Abubakar juga diwajibkan membayar denda Rp200 juta, subsidair kurungan enam bulan. Terdakwa juga diharuskan membayar uang pengganti Rp485 juta, dan harus dibayarkan maksimal satu bulan setelah ada keputusan tetap.

Jika terdakwa tidak bisa membayar maka diganti dengan harta bendanya disita oleh negara. Jika tidak memiliki harta benda diganti dengan hukuman penjara selama satu tahun.

Sementara itu, jaksa KPK Budi Nugraha mengatakan, semua keputusan ada di tangan hakim. "Ya silakan saja (menolak tuntutan pencabutan hak politik Abubakar). Karena yang memutuskan adalah hak hakim," kata Budi seusai persidangan.

Budi mengemukakan, pencabutan hak politik ini diberikan agar menjadi pembelajaran bagi kepala daerah. Sehingga ada efek jera untuk tidak kembali melakukan praktik korupsi.

Pencabutan hak-hak tertentu sebagai pidana tambahan, tutur dia, berdasarkan aturan yang tertuang dalam KUHP maupun Undang-undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi di Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1) huruf b.

"Pada prinsipnya, pencabutan hak politik itu merupakan suatu pembelajaran terhadap yang bersangkutan (Abubakar) dan juga ASN (aparatur sipil negara) lainnya. Pencabutan ini akan menjadi efek jera. Akan tetapi hakim berpendapat lain," ujar Budi.

Sementara kuasa hukum Abu Bakar, Iman Nurhaeman menyatakan sepakat dengan putusan hakim. Dia menyatakan Abu Bakar tidak akan kembali ke politik dan akan fokus terhadap kesehatannya.

"Ya kan saya menyampaikan salam pleidoi sudah akan fokus dalam kesehatan. Dari awal memang tidak akan menggunakan hak politik lagi, dengan kondisi kesehatan sekarang, boro-boro mikirin politik," ungkap Iman.

Menurut Iman, putusan hakim sudah tepat yang menjatuhkan vonis 5,5 tahun penjara, denda Rp200 juta. Sebab, dalam kasus ini, Abubakar tidak ada niat untuk memperkaya diri. Dana yang dikumpukan dari kepala dinas akan digunakan untuk membiayai survei istrinya yang maju sebagai cabup di Pilbup Bandung Barat 2018.

"Jadi uang itu bukan untuk pribadi atau memperkaya diri, misalnya beli mobil, rumah, dan lain-lain. Dana itu untuk biaya operasional," ujar Iman.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2544 seconds (0.1#10.140)