Ini Kesaksian Penerima Dana di Sidang Korupsi Hibah Tasikmalaya

Senin, 17 Desember 2018 - 17:49 WIB
Ini Kesaksian Penerima Dana di Sidang Korupsi Hibah Tasikmalaya
Ilustrasi/SINDOnews/Dok
A A A
BANDUNG - Kesaksian yang membuat gemas diungkapkan sejumlah penerima dana hibah Pemkab Tasikmalaya tahun anggaran 2017 dalam sidang kasus korupsi dana hibah dan bantuan sosial (bansos) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Senin (17/12/2018).

Jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan delapan saksi yang merupakan penerima dana hibah tersebut.

Kandi (29), pengurus Yayasan Al Munawaroh Cibogo yang merupakan yayasan penerima dana hibah mengatakan, dia ditawari untuk mendapatkan bantuan dana hibah dari Pemkab Tasikmalaya oleh Setiawan (terdakwa).

Untuk mendapatkan dana hibah itu, Kandi harus memenuhi syarat menyerahkan KTP, tanda tangan, dan membuka rekening Bank BJB. Tentu saja Kandi senang karena kondisi bangunan yayasan yang dikelolanya itu nyaris roboh. Sedangkan, pembuatan proposal dan akta pendirian yayasan diurus oleh Setiawan.

"Saya meneruskan yayasan milik almarhum (orang tua). Ada pendidikan diniyah, majelis taklim. Sebelum ada kasus ini belum berbadan hukum, tapi diurus sama Setiawan (terdakwa) untuk mencairkan dana hibah," kata Kandi menjawab pertanyaaan JPU Andi Adika Wira dan ketua majelis hakim M Razad.

Beberapa hari sebelum pencairan, ujar Kandi, Setiawan memberi kabar bahwa dana hibah bisa dicairkan Rp150 juta. Saksi senang sekali karena dana itu bisa memperbaiki gedung yayasannya.

Akhirnya, Kandi dan Setiawan mencairkan dana hibah Rp150 juta ke Bank BJB di Kabupaten Tasikmalaya. Saksi pun menandatangani sejumlah berkas. Namun, Kandi terkejut karena dia hanya menerima Rp15 juta dari seharusnya Rp150 juta. Sisanya dibawa oleh Setiawan.

"Saya tidak berani protes. Hanya di dalam hati. Saat diperiksa penyidik Ditreskrimsus Polda Jabar, baru saya berani menyampaikan keberatan itu secara tertulis," ujar dia.

Komar (50), pemilik Yayasan dan Pesantren Al Munawaroh pun mengungkapkan kesaksian senada. Sebelum kasus ini yayasan miliknya belum berbadan hukum. Namun, Setiawan mengurus semua persyaratan penerima hibah. Anehnya, Komar mendapat dana hibah dua kali, pertama pada Januari 2017 untuk yayasan dan akhir 2017 untuk pesantren.

Padahal, aturan pemberian dana hibah hanya untuk sekali dalam satu tahun. "Yayasan cair Rp 150 juta pada Januari 2017 dan pondok pesantren Rp250 juta pada akhir 2017. Akta notaris dan SK Kemenkum HAM semua diurus oleh Setiawan. Yayasan dan pontren saya memang sudah berdiri lama tapi baru diurus legalitasnya sekarang. Proposal juga dia yang bikin, saya hanya tanda tangan saja dan buka rekening di Bank BJB," kata Komar.

Beberapa hari sebelum pencairan, dia dikabari oleh Setiawan bahwa dana bisa dicairkan karena sudah ditransfer ke rekening yang dia buat. Namun, saat pencairan, dia hanya menerima uang Rp25 juta dan Rp15 juta.

"Harusnya saya dapat Rp400 juta, untuk yayasan Rp 150 juta tapi dipotong 90%, jadi saya hanya menerima Rp15 juta. Sedangkan untuk pesantren, seharusnya saya dapat Rp250 juta, tapi dipotong juga 90% sehingga saya hanya dapat Rp25 juta," ujar dia.

Komar sempat menanyakan kepada Setiawan kenapa dana hibah itu dipotong 90%. Namun tidak digubris oleh Setiawan. "Dia (Setiawan) cuma bilang 'wayahna' saja. Saya sebenarya keberatan," tutur Komar.

Sementara itu, hakim memberi kesempatan pada Setiawan untuk menanggapi kesaksian para saksi. Setiawan mengaku telah sudah memberi tahu kepada penerima saksi soal pemotongan itu. "Sudah komitmen dari awal ada potongan 90%," kilah Setiawan.

Hakim M Razad dan jaksa Andi Adika Wira menanyakan soal komitmen itu pada ena saksi lainnya. Namun, enam saksi lainnya menyatakan tidak pernah diberi tahu soal komitmen tersebut.

Sementara itu, dari delapan saksi, semuanya mengaku legalitas yayasan sebagai salah satu syarat penerima yayasan, seperti akta notaris hingga SK Menkum HAM dibuat oleh Setiawan.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.8853 seconds (0.1#10.140)