Ungkapan Nyinyir Bermunculan, Pola Kampanye Pemilu 2019 Tak Mendidik

Rabu, 05 Desember 2018 - 19:27 WIB
Ungkapan Nyinyir Bermunculan, Pola Kampanye Pemilu 2019 Tak Mendidik
Sosialisasi Pengawasan Tahapan Pemilu dengan Stakeholder dan Pemantau Pemilu di Travello Hotel, Kota Bandung, Selasa 4 Desember 2018 malam. Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Pola kampanye yang diterapkan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dinilai tidak mendidik masyarakat, menyusul banyak ungkapan nyinyir yang dilontarkan peserta pemilu, termasuk para politisi pendukung capres-cawapres.

Kondisi tersebut diyakini tidak akan mencerdaskan masyarakat dalam berdemokrasi. Hal itu juga menunjukkan bahwa peserta pemilu lebih mengutamakan obsesi dalam meraih kekuasaan dibanding memperjuangkan nasib rakyat.

"Kampanye-kampanye nyinyir, seperti tempe, genderewo, cebong, kampret, sontoloyo, kemudian "buta-tuli". Ini kampanye model apa? Sama sekali tidak mencerdaskan masyarakat," kata pemerhati pemilu yang juga Direktur Democracy Electoral Empowerman Partnership Yuspitriadi dalam Sosialisasi Pengawasan Tahapan Pemilu dengan Stakeholder dan Pemantau Pemilu di Travello Hotel, Jalan Setiabudi, Kota Bandung, Selasa 4 Desember 2018 malam.

Karena itu, ujar Yuspitriadi, peserta pemilu dan para pendukung diminta melakukan introspeksi terhadap setiap ungkapan yang dilontarkan dan tidak lagi mengeluarkan ungkapan-ungkapan nyinyir agar masyarakat lebih cerdas dalam memilih calon pemimpinnya demi Indonesia yang lebih baik.

"Di sisa waktu yang tinggal sekitar tiga bulan, seluruh peserta Pemilu 2019 harus lebih mengedepankan edukasi, bukan obsesi politik dengan menyampaikan gagasan-gagasan kampanye edukatif untuk membangun Indonesia lebih baik," ujar dia.

Yuspitriadi menilai, Pemilu 2019 masih akan diwarnai berbagai kecurangan. Meski proses demokrasi di Indonesia tak pernah berakhir kacau, namun sejarah mencatat, berbagai kejahatan pemilu, seperti manipulasi data pemilih, politik uang (money politics), hingga kampanye hitam (black campaign) selalu terjadi.

"Saya bukan dalam kerangka pesimistis terhadap penyelenggara pemilu, tapi saya pesimistis terhadap hilangnya permasalahan-permasalahan dan kejahatan-kejahatan pemilu yang sedang berlangsung," tutur Yuspitriadi.

Dalam kegiatan yang digelar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat itu, Yuspitriadi menyoroti masih lemahnya penindakan hukum terhadap kejahatan pemilu di Indonesia. Kasus kejahatan pemilu yang seharusnya ditindak tegas untuk menimbulkan efek jera, seakan menguap seiring berakhirnya pesta demokrasi.

"Artinya, bukan dalam perspektif pemilu akan rusuh atau gagal. Bukan seperti itu, tapi prosesnya ini yang kemudian tidak menghilangkan kejahatan-kejahatan pemilu, kemudian tidak ada penegakan hukum yang kuat. Itu saja masalahnya," ungkap dia.

Menurut dia, sinyalemen akan terjadinya berbagai kejahatan pemilu di Pemilu 2019 kini sudah mulai terasa, seperti persoalan daftar pemilih tetap (DPT) yang masih bermasalah, penyebaran berita bohong (hoaks) yang masif, hingga penggiringan opini untuk mencapai politik elektoral dengan bungkus agama.

Karenanya, penyelenggara pemilu dituntut bekerja ekstra untuk menyelesaikan berbagai persoalan teknis sebelum Pemilu 2019 digelar. Penyelenggara pemilu pun wajib menjaga integritasnya guna menjaga kepercayaan publik.

"Bila penyelenggara pemilu sudah berani bermain mata dengan kontestan, dengan parpol (partai politik), dengan caleg (calon anggota legislatif), saya pikir ini sebagai sebuah muara dari ketidakpecayaan publik kepada pelaksanaan pemilu," tandas Yuspitriadi.

Disinggung peran Bawaslu untuk menekan kejahatan pemilu, Yuspitriadi menilai, Bawaslu memiliki instrumen cukup memadai untuk mengawasi jalannya Pemilu 2019. Karena itu, pihaknya berharap Bawaslu bekerja maksimal, agar pelaksanaan Pemilu 2019 tidak terciderai oleh kejahatan pemilu.

"Memang ada beberapa hal yang tidak mampu terjangkau oleh Bawaslu, misalnya dana kampanye karena amanat undang-undang tidak sampai pada proses investigasi. Maka sudah bisa dipastikan, Bawaslu tidak akan pernah menemukan audit dana kampanye yang serius," kata dia.

Sementara, mantan Komisioner Bawaslu RI periode 2008-2012 Wahidah Suaib menilai, dalam Pemilu 2019 yang digelar serentak untuk pertama kalinya itu, masyarakat kini cenderung lebih memperhatikan Pemilihan Presiden (Pilpres) ketimbang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.

"Ada beberapa yang patut kita waspadai dengan desain pemilu serentak ini, di mana pikiran dan konsentrasi orang terserap di pilpres, emosi publik lebih mudah tersulut urusan pilpres dibanding pileg," kata Wahidah.

Menurut dia, hal ini perlu diwaspadai karena pemungutan suara untuk pilpres lebih didahulukan daripada pileg. Sehingga, ketika para pemilih kecewa atas pilihannya yang kalah, maka konsentrasi untuk mengawal suara di pileg pun akan terpecah.

"Ini juga rawan dan penting diwaspadai, termasuk membangun kesadaran pemilih bahwa pemilu serentak ini adalah pemilu pertama yang kita lakukan, jangan sampai tidak terkawal semuanya," ujar dia.

Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kerawanan tersebut, tutur Wahidah, yakni independensi penyelenggara pemilu, kelalaian petugas, faktor fisik petugas yang kelelahan karena bertugas seharian di pilpres dan pileg.

"Tiga hal ini penting sekali diwaspadai. Penyelenggara itu harus bisa membangun dan men-support spirit kelompok-kelompok strategis masyarakat untuk mengawal sampai proses itu tuntas," pungkas Wahidah.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1024 seconds (0.1#10.140)