Revolusi Industri 4.0 Jangan Abaikan Potensi Kearifan Lokal

Senin, 05 November 2018 - 17:28 WIB
Revolusi Industri 4.0 Jangan Abaikan Potensi Kearifan Lokal
Para pembicara saat mengupas Revolusi Industri 4.0 pada Seminar Internasional IMM bertema IMM on 4.0 Industrial Revolution di Bandung, Sabtu (3/11/2018). Foto/SINDOnews/Arif Budianto
A A A
BANDUNG - Bergulirnya Revolusi Industri 4.0 yang ditandai penggunaan teknologi komunikasi secara masif, semestinya tidak mengabaikan potensi kearifan lokal. Pembangunan yang mengabaikan kearifan lokal, dinilai tidak akan berhasil mengatasi persoalan kemiskinan.

Direktur Leiden Ethnosystem And Development (LEAD) Programme LJ Slikkerveer mengatakan, untuk mengurangi angka kemiskinan, Indonesia harus mengoptimalkan potensi bioculture. Caranya dengan melakukan pembangunan yang menekankan pada indigenous community (masyarakat lokal) yang menguasai kearifan lokal.

“Pembangunan yang berkelanjutan tidak akan berjalan tanpa mengandalkan partisipasi masyarakat lokal. Dan yang harus diingat, sebuah program akan berjalan dengan baik apabila mengandung nilai budaya atau tradisi setempat,” kata dia dalam seminar Internasional Integrated Microfinance Management (IMM), “IMM on 4.0 Industrial Revolution”, di Bandung, Sabtu (3/11/2018).

Menurut Slikkerveer, bergesernya konsep institusi keuangan mikro kearah komersial menyebabkan, peran institusi keuangan mikro terhadap penanggulangan kemiskinan menjadi sangat minim. Padahal sebelumnya, ketika Grameen Bank muncul institusi keuangan mikro memiliki fokus untuk membantu kaum miskin.

Institusi keuangan mikro, yang menjadi salah satu ujung tombak pembangunan dan pengentasan kemiskinan, kata dia, diharapkan kembali fokus pada penanggulangan kemiskinan. Institusi tersebut jangan mengabaikan pemberdayaan komunitas dan pengetahuan lokal.

Sementara itu, akademisi Unpad Asep Mulyana mengatakan, di dalam paradigma IMM, uang berperan sebagai katalis sedangkan faktor kunci adalah manusia. Oleh karenanya, manajer keuangan harus lebih aware bahwa masih ada kelompok manusia yang mungkin tidak terjangkau program pembangunan terutama yang fokus pada bidang ekonomi.

Bagi CEO Kuelap, perusahaan konsultan IT microfinance institution berbasis di Seattle, Craig Chelius, salah satu masalah yang dihadapi keuangan mikro adalah pasar yang kecil banyak kota. Sehingga memerlukan biaya operasional yang besar dan risiko tinggi.

“Oleh karena itu, untuk menjaga kelanjutannya, institusi keuangan mikro harus menekan biaya operasional dengan bergabung melalui penggunaan teknologi. Dengan bergabung dalam satu plaform, institusi keuangan mikro menjadi lebih kuat,” kata dia.

Kegiatan yang diselenggarakan Program Manajemen Keuangan Mikro Terpadu (MKmT), Universitas Padjadjaran bekerjasama dengan Universitiet Leiden, Belanda ini, juga menghadirkan Ketua Pengurus Koperasi Mitra Dhuafa (Komida) Slamet Riyadi.

Komida, kata dia, fokus pada pemberdayaan perempuan miskin. Sebuah ibu, Komida tidak hanya sebatas membagikan uang tetapi juga meningkatkan kapasitas dari peminjam dan meningkatkan pendidikan dari anggotanya. Didalam menyalurkan pinjaman, pihaknya tidak mensyaratkan collateral, tanpa fotokopi KTP, dan tidak pula menggunakan kontrak tertulis.

Meski tidak mensyaratkan jaminan, angka NPL hampir 0%. Hanya 0,3% nasabah yang terlambat melakukan pembayaran. Operasionalnya, kata Slamet, masih mengandalkan transaksi tunai dan pertemuan tatap muka. Alasannya, mayoritas perempuan miskin yang menjadi fokus Komida tidak memiliki ponsel pintar.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.9174 seconds (0.1#10.140)