Kepala Daerah Tak Kapok Korupsi, Ini Penyebabnya

Jum'at, 26 Oktober 2018 - 10:37 WIB
Kepala Daerah Tak Kapok Korupsi, Ini Penyebabnya
Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Kasus korupsi terus menjerat kepala daerah. Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri, sudah ada 100 kepala daerah yang berurusan dengan lembaga antirasuah ini.

Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, ada beberapa faktor dan modus kenapa para kepala daerah tidak pernah kapok melakukan korupsi dalam berbagai delik. Faktor dan modus tersebut, tutur dia, berdasarkan temuan KPK dalam bidang pencegahan maupun saat menangani perkara dari tingkat penyidikan hingga pengadilan.

Pertama, pembiayaan atau dana politik dalam sebuah kontestasi pilkada sangat tinggi. Temuan KPK, kepala daerah memanfaatkan jabatannya untuk meraup uang baik berupa suap atau gratifikasi atau penyalahgunaan kewenangan berupa korupsi proyek untuk kebutuhan biaya logistik pilkada maupun membayar utang akibat pilkada.

"Dari yang kami tangani selama ini, ada yang bilang jadi kepala daerah itu minimal untuk pilkada Rp20 sampai Rp30 miliar. Kalau di Jawa bahkan bisa lebih lagi. Di kasus Bupati Cirebon ini saja, KPK mengidentifikasi ada penggunaan dana untuk Pilkada 2018 sebelumnya," ujarnya.

Dia menggariskan, jika diasumsikan penghasilan resmi kepala daerah dalam satu bulan sekitar Rp100 juta, maka selama lima tahun menjabat penghasilannya hanya sekitar Rp6 miliar. Karenanya, para kepala daerah yang mengeluarkan biaya pilkada dan logistiknya yang banyak akan mencari dan menggunakan berbagi macam cara untuk menutupi modal pilkada.

"Kalau masih seperti itu, rasanya sangat sulit untuk mencegah. Maka dari itu dari kajian KPK, kami usulkan ke pemerintah untuk menaikkan dana partai politik. Sebelumnya dari Rp108 per suara dulu, sekarang sudah dinaikkan Rp1.000 per suara. Memang itu masih kecil," paparnya.

Kedua, selama ini partai politik lebih cenderung mencalonkan kepala daerah yang memiliki background pengusaha atau kontraktor atau yang memiliki banyak uang. Harusnya, tutur Alexander, partai politik membuka ruang rekrutmen bakal calon kepala daerah sejak awal dengan melalui panitia seleksi yang independen. Dalam tahap seleksi tersebut, masyarakat juga bisa dilibatkan.

"Setidaknya dari sisi kualitas dan integritas paling tidak sudah teruji lewat pansel. Sehingga tidak dilepas begitu saja oleh partai politik," imbuhnya.

Latar belakang kepala daerah pengusaha atau kontraktor juga berhubungan dengan faktor dan modus ketiga. Dengan calon kepala daerah berasal dari pengusaha, maka saat resmi menjabat kemudian kepala daerah memasukkan perusahaan yang dikendalikan atau dimiliki kepala daerah dalam berbagai proyek. Bahkan, kepala daerah cenderung mengintervensi pejabat daerah agar perusahaan tersebut dimenangkan.

"Harusnya perlu ada peraturan yang berhubungan langsung dari kepala daerah yang memiliki perusahaan seperti itu dilarang ikut lelang. Dengan begitu, mungkin bisa mengurangi minat orang mau jadi kepala daerah," paparnya.‎

Keempat dan paling penting adalah Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) di tingkat kabupaten, kota, hingga provinsi tidak independen dan lebih sering diintervensi oleh kepala daerah. Musababnya, berdasarkan aturan yang ada saat ini APIP di kabupaten, kota, dan provinsi, diangkat oleh bupati, wali kota, dan gubernur dengan bertanggung jawab ke bupati melalui sekretaris daerah. Dalam banyak hal dan kasus, ada petugas APIP atau inspektorat daerah ingin melakukan upaya perbaikan tetapi kepala daerahnya tidak memiliki integritas. Bahkan, dalam beberapa kasus, temuan hasul audit auditor APIP ketika membentuk kepala daerah maka temuan tersebut dengan segera dihilangkan.

KPK sudah beberapa kali intens mengusulkan bahwa untuk APIP kabupaten/kota dingkat dan di-SK-kan oleh gubernur dan untuk tingkat provinsi disahkan oleh menteri. Menurut KPK perbaikan secara mendasar harus dilakukan dan sangat mendesak agar perbaikan aturan terkait APIP diteken pemerintah. Bahkan, draf peraturan pemerintah tersebut disusun bersama KPK dan Kementerian Dalam Negeri.

"Selama ini inspektorat, APIP, tidak ada yang berani kalau temuannya kepala daerah. Inspektorat takut dipecat. Dengan Inspektorat tingkat 2 itu SK-nya dari gubernur, untuk provinisi langsung mendagri, mereka kepala daerah tidak bisa langsung memecat inspektorat," bebernya.

Kelima, pelaksanaan dan penerapan sistem elektronik berupa e-planning, e-budgeting, e-catalogue, hingga e-procurement yang belum maksimal. Padahal KPK bersama lembaga/intansi terkait termasuk Kemendagri sudah mengawasi dan melakukan berbagai program pencegahan. Dalam konteks pengadaan barang dan jasa saja, dari berbagai kasus yang ditangani KPK, lelang dengan sistem e-procurement masih bisa diakali.

"Sistem ini masih bisa diakali. Mereka bekerja sama. Peserta lelang bekerja sama dengan orang dalam. Padahal kami melalui koordinasi dan supervisi pencegahan dengan beberapa intansi/lembaga sudah membangun sistem memperkecil peluang korupsi. Kami paksa e-planning dan e-budgeting," ucapnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.5721 seconds (0.1#10.140)