Pakar HTN Sebut Kepala Daerah Tak Berwenang Tetapkan Karantina, Ini Penjelasannya

Minggu, 29 Maret 2020 - 12:14 WIB
Pakar HTN Sebut Kepala Daerah Tak Berwenang Tetapkan Karantina, Ini Penjelasannya
Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid. Foto/Koleksi Pribadi Fahri Bachmid
A A A
JAKARTA - Pengamat Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Dr Fahri Bachmid SH MH menilai keputusan sepihak kepala daerah menetapkan opsi karantina atau lockdown terkait kasus pendemi virus corona atau Covid-19 adalah keliru dan tidak sejalan dengan undang-undang.

Sebab, kata Fahri Bachmid, segala tindakan administratif pemerintah daerah itu mempunyai implikasi hukum serius pada semua sektor lapangan hukum publik, kendati kebijakan itu untuk menyelamatkan masyarakat.

"Berdasarkan desain hukum sesuai UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka kepala daerah tidak diberikan atribusi kewenangan untuk melakukan tindakan karantina wilayah (lockdown), baik sebagian maupun keseluruhan," kata Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/3/2020).

Menurut Fahri Bachmid, yang berwenang mengeluarkan bebijakan karantina adalah pemerintah pusat. Hal ini sesuai UU RI Nomor 6/2018 khusunya ketentuan Pasal 11 ayat (1).

Dalam pasal 11 tersebut dijelaskan bahwa “Penyelengaraan Kekarantinaan Kesehatan pada kedaruratan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besaranya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya”.

Kemudian, ujar Fahri, ketentuan lebih lanjut diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2). Ayat (1) pasal tersebut menyebutkan, selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Sementera ayat (2) menjelaskan tanggung jawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan karantina wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait.

"Begitupun dengan kewenagan selain karantina wilayah yang menjadi domain serta rezim pemerintah pusat, yaitu kewenangan untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah menjadi kewenangan atribusi pemerintah pusat," ujar Fahri.

Kewenangan pemerintah pusat lainya, tutu Fahri, sesuai amanat UU RI Nomor 6/2018, khususnya ketentuan Pasal 59 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari respons kedaruratan kesehatan masyarakat.

Ayat (3) menyebutkan, bahwa “Pembatasan sosial berskala besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi, peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau, pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum.

"Kemudian untuk pengaturan lebih teknis dan operasional atas ketentuan tersebut, sesuai UU RI No. 6/2018 khususnya ketentuan pasal 60 disebutkan bahwa “Ketentuan lebih lenjut mengenai kriteria dan pelaksanaan karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan pembatasan sosial berskala besar diatur dengan peraturan pemerintah," tutur dia.

Namun demikian, ungkap Fahri, dari segi yuridis ada sedikit problem teknis terkait dengan berbagai hal kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah karena kriteria dan tata cara pelaksanaan karantina (lockdown), pada berbagai tingkatan itu masih belum adanya payung hukum (rules) seperti yang diperintahkan oleh undang-undang itu sendiri seperti peraturan pemerintah.

"Jadi baiknya Presiden secepatnya menetapkan peraturan pemerintah tentang kriteria dan pelaksanaan karantina (lockdown) sebab, itu merupakan aturan derivatif yang bersifat expresive verbise untuk secepatnya dapat didayagunakan untuk mengatasi keadaan darurat nasional saat ini, sehingga adanya keseragaman dalam bertindak, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah," ungkap Fahri.

Dengan demikian, kata Fahri, tidak ada lagi kepala daerah mengambil langkah serta menafsirkan situasi sendiri-sendiri terkait pencegahan pandemi covid-19 ini.

Dalam situasi yang sudah sangat mendesak serta genting seperti ini, Fahri Bachmid meminta Presiden secepatnya mengambil langkah dan respons cepat dan tepat dengan segera menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) yang lebih operasional sesuai amanat UU Kekarantinaan Kesehatan.

"PP ini untuk selanjutnya dapat digunakan untuk kepentingan karantina atau Lockdown sesuai pertimbangan yang terukur, baik secara nasional, ataupun pada wilayah-wilayah tertentu sesuai tingkat ancaman pendemi serta kriteria yang terukur," kata Fahri Bachmid.

Memang sedikit terlambat, ujar Fahri, karena bencana telah melanda sementara infrastruktur hukum yang vital sebagai alat rekayasa atau instrumen pengendali keadaan belum tersedia.

Sehingga, dikhawatirkan pola dan bentuk penanganan nantinya menjadi sporadis dan tidak sistemik, idealnya negara dalam menanganan Covid-19 ini harus terstruktur, sistematis dan terkendali sesuai kaidah-kaidah International Health Regulations (IHR)Tahun 2005 bertanggal 15 Juni Tahun 2007 yang ditetapkan oleh sidang majelis kesehatan dunia mengenai kemampuan sistem surveilans epidemiologi.

"Saya percaya bahwa secara mitigatif, Presiden telah mempunyai sejumlah rencana cadangan untuk mengendalikan dan mengatasi keadaan ini beberapa waktu ke depan. Sehingga saya berharap PP dimaksud bisa segera keluar dalam minggu ini agar berbagai hambatan yang potensial terjadi dapat di minimalisir sedemikian rupa, dan dipastikan bahwa negara harus hadir untuk melakukan berbagai tindakan pada semua aspek kehidupan rakyatnya," pungkas Fahri.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2115 seconds (0.1#10.140)