Polemik Eks ISIS asal Indonesia, Pakar HTN Fahri Bachmid: Pemerintah Perlu Aturan Khusus

Minggu, 09 Februari 2020 - 18:27 WIB
Polemik Eks ISIS asal Indonesia, Pakar HTN Fahri Bachmid: Pemerintah Perlu Aturan Khusus
Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid. Foto/Koleksi Pribadi Fahri Bachmid
A A A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Dr Fahri Bachmid SH, MH mengatakan, tidak ada aturan hukum khusus terkait wacana pemulangan 600 orang mantan anggota ISIS asal Indonesia.

Fahri Bachmid menilai, pemulangan anggota ISIS asal Indonesia yang menuai polemik tersebut perlu ditinjau dalam konteks konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut dia, setiap orang bebas memilih dan menentukan kewarganegarannya. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 28E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28E ayat (1) tersebut menegaskan ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, dan berhak kembali. Sehingga setiap orang secara konstitusional bebas memilih kewarganegaraannya.

"Dengan demikian untuk menyikapi soal ini tidak terlepas dari dimensi hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi (UUD NRI Tahun 1945)," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Minggu (9/2/2020).

Menurut Fahri Bachmid, memang terdapat sedikit kompleksitas dari sisi teknis yuridis jika mengunakan instrumen UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 23 poin d.

Pasal itu menyebutkan bahwa WNI kehilangan kewarganegaraanya jika yang bersangkutan “masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden,”. Sementara, point F yang menyebutkan bahwa “Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut”.

"Ini tentu mebutuhkan kajian dan pendalaman dari segi teori, doktrin, dan kaidah hukum internasional sepanjang berkaitan dengan eksistensi dan kedudukan ISIS sebagai subjek hukum internasional," ujar dia.

Fahri menuturkan, secara normatif macam subjek hukum internasional terdiri dari a. Negara berdaulat; b. Gabungan negara negara; c. Tahta suci Vatikan; d. Orgainsasi internasional, baik yang bilateral, regional maupun multilateral; e. Palang merah internasional; f. Individu yang mempunyai kriteria tertentu; g. Pemberontak (belligerent) atau pihak yang bersengketa; h. Penjahat perang (genocide).

Dengan demikiam subjek hukum internasional terdapat kelompok pemberontak, disebutkan Fahri, itupun terbagi ke dalam dua kategori, yaitu “Insurgent” dan Belligerent”.

ISIS termasuk dalam kelompok Belligerent. Namun, menjadi sulit secara hukum jika eks ISIS asal Indonesia itu dikualifisikan sebagai warganegara yang telah secara sukarela mengangkat sumpah/janji setia kepada negara asing/bagian dari negara asing tersebut sebagaimana diatur dalam kaidah ketentuan Pasal 23 point f UU Nomor 12/2006.

"Karena secara konseptual maupun hukum internasional, ISIS tidak dapat dikategorikam sebagai negara, karena tidak memenuhi unsur-unsur negara. Sehingga, ISIS merupakan subjek hukum bukan negara (non-state entities). Hal ini harus dimatangkan dan perlu dikaji secara mendalam dan hati hati agar ketika membangun konstruksi hukum berkaitan dengan larangan mereka untuk masuk kembali ke Indonesia tetap sejalan dengan argumentasi yang berbasis legal-konstitusional dan tidak melawan hukum," tutur Fahri.

Fahri Bachmid mengungkapkan, berdasarkan Konvensi Montevideo Tahun 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara yang ditandatangani pada 26 Desember 1933 yang mengkodifikasi teori deklaratif kenegaraan disebutkan syarat hukum berdirinya sebuah negara yang harus dipenuhi secara mutlak, yaitu: a. Memiliki rakyat; b. Wilayah; c. Pemerintahan; d. Kemampuan berhubungan dengan negara lain; dan e. Pengakuan kedaulatan dari negara lain.

"Berdasarkan hal tersebut, maka secara faktual ISIS tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara lain. Apalagi mendapat pengakuan kedaulatan dari negara lain, sehingga secara hipotetis disimpulkan bahwa ISIS adalah sebuah negara menjadi gugur," ungkap Fahri.

Fahri menambahkan eks ISIS asal Indonesia ini secara hukum telah “stateless” (tanpa kewarganegaraan). Jika suatu waktu atas dasar hak konstitusional dan kemanusiaan Pemerintah Indonesia memutuskan memulangkan mereka ke Tanah Air, beberapa instrumen dan payung hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan UU RI Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia perlu disiapkan untuk mengatur tentang proses identifikasi.

Misalnya, identifikasi mana WNI yang menjadi pelaku aktif (kombatan), mana yang sekadar korban? Mana yang levelnya “verry dengerous” karena sangat radikal dan ekstreim sampai pada level yang risikonya sangat kecil?

Proses assesment, deradikalisasi pengaturan leading sector-nya, apakah dibawah tanggung jawab BNPT atau siapa? Yang paling penting adalah tingkat penerimaan masyarakat setempat, yang tentu melibatkan pemerintah daerah karena mengatur tentang tangung jawab dan sebagainya.

"Hal hal ini yang harus dikaji secara cermat dan komprehensif oleh pemerintah. Setelah semua proses itu dilalui baru selanjutnya mereka diwajibkan untuk menjalani proses administrasi pewarganegaraan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 UU Nomor 12/2006 yang mana pasal 16 mengatur tentang Sumpah atau Pernyataan Janji Setia kepada Negara Republik Indonesia," kata Fahri.

Dia mencontohkan pengalaman empiris terkait memperlakukan eks kombatan ISIS, yaitu mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Badan Pengusahaan Batam Dwi Djoko Wiwoho pada 2018 silam.

Djoko dan keluarganya menghilang sejak Agustus 2015. Belakangan diketahui Djoko telah bergabung dengan ISIS dan beroperasi di Iraq. Namun, akhirnya Djoko dan keluarganya berhasil dipulangkan ke Indonesia dan Djoko mendekam dipenjara setelah divonis 3,5 tahun penjara. Sementara anggota keluarga yang lainnya menjalani program deradikalisasi dan ahirnya dilepaskan.

"Ini bisa menjadi referensi terkait hal ini agar proses integrasi eks ISIS asal Indonesia tidak menjadi permasalahan baru. Jadi, pendidikan dan pembinaan dalam rangka deradikalisasi menjadi penting agar paham radikal dan ekstremis bisa benar-benar dihilangkan dan idiologi yang mereka gunakan dapat ditinggalkan," pungkas Fahri.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 4.2702 seconds (0.1#10.140)