Baby Lobster Dijual Bebas, Dedi: Masa Depan Laut Indonesia Rusak

Kamis, 30 Januari 2020 - 21:14 WIB
Baby Lobster Dijual Bebas, Dedi: Masa Depan Laut Indonesia Rusak
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi. Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi kembali mengkritisi rencana revisi sejumlah aturan yang akan dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, khususnya larangan penjualan bibit lobster (baby lobster).

Legislator dari daerah pemilihan (dapil) Kabupaten Purwakarta, Karawang, dan Bekasi itu menilai, jika larangan penjualan baby lobster direvisi, masa depan kelautan Indonesia akan rusak.

Dedi menegaskan, Menteri Kelautan dan Perikanan harus hati-hati dalam melakukan revisi tersebut. Pasalnya, revisi larangan penangkapan baby lobster hanya untuk kepentingan sesaat dan tidak mempertimbangkan konservasi kelautan.

"Revisi harus hati-hati, harus mempertimbangkan konservasi lingkungan. Bicarakan dengan pakar-pakar kelautan yang berpihak bagi kepentingan nelayan," tegas Dedi, Kamis (30/1/2020).

Dedi juga mengatakan, memperjuangkan kepentingan nelayan bukan berarti semua keinginan mereka harus dipenuhi. Sebab, kata Dedi, bicara soal aturan ada yang boleh direvisi, ada yang tidak.

Dedi meminta, larangan penjualan baby lobster, termasuk kepiting dan rajungan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tidak perlu direvisi.

"Jika baby lobster dijual, maka Indonesia akan mengalami kekurangan bibit yang tentu saja akan merusak masa depan kelautan," tegasnya.

Dedi menyadari, revisi aturan yang akan dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan demi kepentingan nelayan. Namun, Dedi kembali menegaskan, revisi harus mempertimbangkan kelestarian ekosistem laut demi masa depan anak cucu.

"Logika ingin memakmurkan nelayan itu harus seiring sejalan dengan logika menjaga konservasi kelautan. Sebab, jika logikanya untuk memakmurkan tanpa mempertimbangkan itu (konservasi kelautan), akan membunuh nelayan dalam jangka panjang," jelasnya.

Dedi mencontohkan, ketika baby lobster diperbolehkan ditangkap dan diperjualbelikan, maka nelayan akan kehilangan potensi penghasilan besar karena lobster dewasa memiliki nilai ekonomis yang jauh lebih besar.

"Lobster itu harganya Rp4 juta, tapi bayi lobster itu cuma ratusan ribu. Coba mending pilih mana? ujarnya.

Selain itu, Indonesia ke depan dipastikan mengalami krisis baby lobster, sementara negara lain akan menjadi penghasil lobster terbesar di dunia.

Lebih lanjut Dedi mengatakan, di negara manapun, termasuk negara maju, soalnkelautan ada aturannya dan diterapkan secara tegas, seperti ikan apa yang boleh dan dilarang ditangkap.

"Di negara-negara tertentu diatur bahwa waktu musim ikan bertelur, tak boleh dipancing," imbuhnya.

Dedi berharap, kelautan Indonesia tidak bernasib sama dengan sungai-sungainya dimana ikan-ikan khas sungai di Indonesia kini banyak yang telah punah akibat tidak adanya aturan yang jelas dan tegas.

"Sekarang cek sungai dan danau-danau, ada ikan aslinya gak? Karena dulu habis diportas (diracun) dan disetrum hingga ikan-ikan kecilnya mati," katanya.

Menurut Dedi, laut Indonesia pun akan bernasib sama jika pemanfaatannya tidak dibarengi dengan aturan pengendalian yang juga otomatis berdampak pada nasib para nelayan.

"Kalau kita berpikir hanya jangka pendek sekarang, terus jangka panjang bagaimana?" tandas Dedi.

Diketahui, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berencana merevisi 29 peraturan menteri untuk meningkatkan tangkapan ikan di laut Indonesia.

Menurut Edhy, revisi tersebut dilakukan karena banyak peraturan menteri yang tak berpihak kepada masyarakat, salah satu contohnya adalah larangan penjualan baby lobster.

"Mereka (nelayan) duduk seharian mendapatkan baby lobster. Baby lobster itu dijual Rp3.000 per ekor. Kalau ada pekerjaan lain, mana mungkin mereka mau duduk berhari-hari menangkap baby lobster. Kita boleh bikin kebijakan, tapi dampak kebijakan ke masyarakat apa? Saya tidak mau populer, saya hanya ingin masyarakat makmur," katanya.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 5.4899 seconds (0.1#10.140)