Timses Jokowi-Ma'ruf Gelar Nobar Film G30S/PKI

Selasa, 25 September 2018 - 14:41 WIB
Timses Jokowi-Maruf Gelar Nobar Film G30S/PKI
Ketua TKD Jokowi-Maruf Dedi Mulyadi memaparkan rencana nobar film G30S/PKI, Selasa (25/9/2018). Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Meski pro kontra terus mewarnai penayangan film G30S/PKI, Tim Kampanye Daerah (TKD) Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) Provinsi Jabar mantap menggelar kegiatan nonton bareng (nobar) film tersebut. TKD Jokowi-Ma'ruf Amin Provinsi Jabar bahkan mengajak masyarakat Jabar bersama-sama merefleksi peristiwa bersejarah melalui nobar film G30S/PKI.

Kegiatan tersebut diharapkan mampu menghilangkan stigma terkait tuduhan antek PKI terhadap pasangan capres-cawapres yang akan berlaga di Pilpres 2019. "Kegiatan ini memiliki urgensi yang sangat jelas. Tidak boleh ada lagi tuduhan antek PKI terhadap capres/cawapres. Lalu, kubu ini menuduh bahwa kubu itu fundamentalis, itu tidak boleh ada lagi," tegas Dedi di Kantor DPD Golkar Jabar, Jalan Maskumambang, Kota Bandung, Selasa (25/9/2018).

Dedi yang juga Ketua DPD Partai Golkar Jabar itu menyebutkan, nobar film G30S/PKI akan digelar di Halaman Kantor DPD Golkar Jabar pada 29 dan 30 September 2018 yang akan dihadiri anggota TKD Jokowi-Ma'ruf Provinsi Jabar, relawan, hingga simpatisan Jokowi-Ma'ruf di Jabar, termasuk seluruh keluarga besar Golkar Jabar.

Dedi melanjutkan, tuduhan soal keberpihakan ideologi 'kanan' dan 'kiri' menurutnya sangat tidak mendidik calon pemilih. Karenanya, dia mengajak semua pihak untuk lebih mempertajam visi dan misi menuju tatanan program teknis yang dinilainya lebih beradab ketimbang menebar tuduhan.

"Pak Prabowo pernah mencalonkan Jokowi-Ahok di Pilkada Jakarta. Saat itu tidak ada isu komunis kan? Pak Prabowo dan Ibu Megawati pun pernah bareng di Pilpres 2009, juga tidak ada isu komunis. Jadi, masyarakat harus diberikan pendidikan politik, bukan ditakut-takuti," paparnya.

Dedi yang juga anak pensiunan tentara itu menegaskan, fase sejarah kehidupan bangsa tidak boleh dijadikan sebagai alat konflik. Aspek rekonsiliasi dan konsolidasi harus lebih dikedepankan demi kepentingan bangsa dan negara.

"Negara kita punya sejarah, ada sejarah gemilang ada juga sejarah kelam. Nah, sejarah kelam itu jangan sampai terulang lagi. Film G30S/PKI itu hanya refleksi sejarah, hanya pengingat masa lalu," katanya.

Dedi mengatakan, film G30S/PKI yang digarap di era Presiden Soeharto harus dihargai sebagai sebuah karya seni. Soal perdebatan terkait kekurangan dalam sebuah karya seni, kata Dedi, tidak akan pernah menemui kesimpulan. Alih-alih menarik pelajaran, anak bangsa justru akan dipaksa berada dalam pusaran perdebatan.

"Kalau tidak setuju dengan salah satu atau beberapa bagian dari film itu, ya tinggal buat film baru. Karya seni dijawab dengan karya seni sebagaimana karya ilmiah dijawab karya ilmiah. Imam Ghazali dan Ibnu Rusyd kan berpantun ria melalui masing-masing bukunya," papar Dedi mencontohkan.

Mantan Bupati Purwakarta dua periode itu juga menekankan, banyak cara untuk menghadirkan pendidikan ke tengah masyarakat, seperti para pendiri bangsa yang mendidik masyarakat melalui berbagai tulisan sekaligus program pembangunan.

"Lihat bagaimana pendiri bangsa kita berdialog. Mereka membuat tulisan, dibalas tulisan lagi. Mereka melontarkan gagasan, dibalas gagasan lagi. Kita hari ini malah saling berbalas nyinyiran," tandasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.5634 seconds (0.1#10.140)