Mengenal Soetardjo Kartohadikoesoemo, Gubernur Pertama Jawa Barat

Jum'at, 20 Juli 2018 - 06:00 WIB
Mengenal Soetardjo Kartohadikoesoemo, Gubernur Pertama Jawa Barat
Peta 8 provinsi pertama di Indonesia yang terpampang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jakarta. Foto/SINDOnews/Dzikry Subhanie. Inset: Soetardjo Kartohadikoesoemo/Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Dalam catatan sejarah, Soetardjo Kartohadikoesoemo yang merupakan kelahiran Blora, Jawa Tengah, menjadi orang pertama yang menjadi gubernur Jawa Barat.

Soetardjo Kartohadikoesoemo lahir 22 Oktober 1890. Dia adalah anak dari pasangan Kiai Ngabehi Kartoredjo yang saat itu menjabat asisten wedana di Onderdistrik Kunduran, dalam Distrik Ngawen, Blora. Sementara, ibunya adalah Mas Ajoe Kartoredjo yang merupakan keturunan keluarga pemerintahan dari Banten.

Soetardjo Kartohadikoesoemo menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Belanda (Europese Lagere School atau ELS) di Tuban. Kemudian, melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pamong Praja, Osvia (Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaaren) di Magelang pada 1907. Dia bisa menyelesaikan pendidikan di situ dalam tempo empat tahun.

Pada 19 Oktober 1911, dia diangkat sebagai pembantu juru tulis (hulpschrijver) berdasarkan keputusan residen Rembang. Gajinya 10 gulden. Sebanyak 7,5 gulden dia berikan kepada ibunya, sementara sisanya dia pakai untuk mentraktir teman-temannya di Kantor Asisten Residen, collecteur, dan kejaksaan.

Dua bulan kemudian dia mendapat promosi menjadi juru tulis jaksa. Pekerjaan itu dia jalani selama lima bulan, sebelum akhirnya naik pangkat menjadi mantri kabupaten.

Saat menjadi mantri, Soetardjo kecewa lantaran pada konferensi bulanan di Kabupaten Blora yang pertama kali dia hadiri, seluruh pamong praja kecuali bupati, diharuskan berpakaian hitam memakai keris dan duduk bersila di atas tikar. Sementara, pegawai Belanda, termasuk inspektur polisi dan kapiteun titulair bangsa Cina, duduk di atas kursi.

Berkat protes dia dan kawan-kawannya, pada konferensi bulanan berikutnya, semua pegawai pamong praja, termasuk dirinya sebagai mantri kabupaten, dibolehkan duduk di atas kursi dengan berpakaian sikepan putih atau baju pendek putih pakai keris.

Selanjutnya, dia menjadi asisten wedana di daerah itu (1913), kemudian menjadi pembantu jaksa (1915), jaksa (1915), dan bersekolah lagi di Bestuurschool (sekolah pamong praja) di Jakarta (1919-1921).

Setelah lulus Bestuurschool, dia diangkat menjadi asisten wedana lagi di Onderdistrik Sambong oleh residen Rembang. Tak sampai setahun, dia dipindah menjadi asisten wedana di Onderdistrik Bangilan.

Selanjutnya, pada 1924, dia menjadi wedana di Distrik Tambakrejo (Kabupaten Bojonegoro). Distrik ini terkenal daerah yang berat dalam sisi pemerintahan, karena itu tidak disukai pamong praja. Meski dipromosikan, ada saja pamong praja yang tidak senang ketika ditempatkan di situ. "Bagi saya tidak ada senang atau tidak senang. Pemerintah telah menetapkan saya sebagai wedono di Tambakrejo. Habis perkara," kata Soetardjo.

Pada 1929, dia menjabat sebagai Patih Gresik merangkap Landrechter. Selanjutnya, pada 1931-1942, dia menjadi anggota College van Gedelegeerden Volksraad (Badan Pekerja Dewan Rakyat).

Dan, saat menjabat anggota Volksraad dia terkenal dengan Petisi Soetardjo yang diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) di negeri Belanda.

Dikutip dari wikipedia, petisi ini diajukan karena makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Petisi ini ditandatangani juga oleh IJ Kasimo, GSSJ Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong.

Isi petisi adalah permohonan supaya diselenggarakan musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom) dalam batas Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda. Pelaksanaannya akan berangsur-angsur dijalankan dalam waktu sepuluh tahun atau dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang permusyawarahan.

Melalui keputusan Kerajaan Belanda Nomor 40 tanggal 14 November 1938, petisi yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Ratu Wilhelmina. Alasan penolakannya antara lain bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab memerintah diri sendiri.

Pada 1943, Soetardjo menjadi syuutyookan atau residen di Jakarta. Karesidenan Jakarta kala itu juga mencakup sebagian daerah yang saat ini masuk Provinsi Jawa Barat, seperti Karawang, Cikampek, Sukamandi, Tangerang, dan Purwakarta. Karena itu, tak heran jika pada Agustus 1945 atau setelah Proklamasi RI, dia dipercaya menjadi gubernur pertama Jawa Barat. Soetardjo menjabat gubernur Jawa Barat hingga Desember 1945, digantikan Datuk Djamin.

Sumber:
1. Setiadi Kartohadikusumo, Soetardjo: Pembuat "Petisi Soetardjo" dan Perjuangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990.
2. id.wikipedia.org.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.3635 seconds (0.1#10.140)