Tiap Tahun Permintaan Produk Pangan Organik di Jabar Meningkat

Senin, 20 Januari 2020 - 21:39 WIB
Tiap Tahun Permintaan Produk Pangan Organik di Jabar Meningkat
Foto/Ilustrasi
A A A
BANDUNG - Seiring semakin tingginya kesadaran masyarakat Jawa Barat untuk mengonsumsi pangan sehat dan terbebas dari residu berbahaya, permintaan bahan pangan organik pun terus meningkat.

Fenomena tersebut mendorong Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura (Dinas TPH) Provinsi Jabar untuk menggenjot produksi komoditas organik pada 2020 ini, khususnya padi dan sayur organik.

Kepala Dinas TPH Provinsi Jawa Barat Hendy Jatnika mengatakan, permintaan masyarakat Jabar terhadap produk pangan organik terus meningkat setiap tahun.

Selain karena semakin tingginya kesadaran masyarakat dalam mengonsumsi pangan sehat dan terbebas dari zat residu berbahaya, kondisi tersebut juga tak lepas dari meningkatnya pendapatan dan standar hidup masyarakat.

"Ada segmen (masyarakat), terutama di kota-kota besar yang tidak menjadikan masalah harga sebagai pertimbangan, yang penting aman dikonsumsi," kata Hendy di Bandung, Senin (20/1/2020).

Terlebih, kata Hendy, Jabar tergolong sebagai provinsi dimana masyarakatnya memiliki penghasilan yang tergolong cukup tinggi. Oleh karenanya, kata Hendy, produk pangan organik banyak diburu masyarakat.

"Karenanya, kami akan memperbanyak lagi produksi komoditas pangan organik, seperti padi organik dan holtikultura, terutama sayuran. Kalau sayuran dan padi sudah jelas permintaannya, termasuk rumah-rumah makan besar banyak membutuhkan sayuran organik, seperti timun yang bebas residu, dan lain-lain," paparnya.

Lebih lanjut Hendy menuturkan, sejumlah kelompok tani di beberapa kabupaten/kota di Jabar juga sudah mulai memproduksi komoditas organik, seperti di Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Garut, Kabupaten Purwakarta, hingga Kabupaten Cianjur.

Hendy mengakui, hingga saat ini, total produksi padi organik di Jabar tak sampai 10 persen dari total produksi padi unggulan di Jabar, begitupula untuk komoditas sayuran.

"Kalau beras unggulan bisa produksi tujuh juta ton. Kalau beras organiknya paling masih ribuan ton karena areal pertaniannya belum luas," katanya.

Menurut Hendy, meski pihaknya menggenjot produksi komoditas organik, namun tidak mendorong petani untuk memprodukdi komoditas organik secara massal. Pasalnya, komoditas organik memiliki pangsa pasar yang berbeda. Selain masyarakat segmen menengah ke atas, kata Hendy, komoditas organik banyak diserap oleh hotel, restoran, dan kafe.

"Komoditas organik kan mahal juga. Kalau beras premium paling Rp9.000 per kilogram, kalau organik bisa mencapai Rp20.000 per kilogram," katanya.

Hendy menambahkan, pihaknya pun terus menyosialisasikan cara bertanam organik kepada para petani, salah satunya menghentikan penggunaan pupuk anorganik yang disambut baik oleh para petani. Bahkan, kini banyak petani muda dari kalangan milenial yang sudah teredukasi untuk memproduksi komoditas organik.

"Malahan banyak yang meminta ke kita, kami kasih tahu dan berikan bimbingan. Kadang-kadang, dengan fasilitas tidak banyak, peserta sosialisasi juga ngantre," ujarnya.

Meski begitu, Hendy tak menampik jika para petani komoditas organik masih kesulitan menembus pasar modern. Oleh karenanya, pihaknya pun memberikan pelatihan penjualan komoditas organik secara online. "Dalam melakukan pembinaan, kami bersinergi dengan dinas kabupaten/kota," katanya.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.9048 seconds (0.1#10.140)