Atasi Kesenjangan, Pakar: Ma'rufnomics Harus Adil, Merata, dan Mandiri

Jum'at, 21 September 2018 - 22:33 WIB
Atasi Kesenjangan, Pakar: Marufnomics Harus Adil, Merata, dan Mandiri
Pakar ekonomi dari Fakutas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Rama Pratama. Foto: Istimewa
A A A
BANDUNG - Pakar ekonomi dari Fakutas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Rama Pratama menyoroti gagasan calon wakil presiden (cawapres) Ma'ruf Amin terkait strategi pembangunan ekonomi Indonesia ke depan yang dinamai Arus Baru Ekonomi Indonesia.

Menurut Rama, gagasan konseptual yang telah dilengkapi pula dengan rekomendasi program tersebut secara ringan dapat dilabeli dengan istilah Ma’rufnomics.

Rama yang juga Direktur Eksekutif Narasi Institute itu mengatakan, Ma’ruf dikenal luas sebagai ulama dan politisi Indonesia yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Aam Syuriah Pengurus besar Nahdlatul Ulama (NU).

Selain itu, Ma’ruf juga diakui sebagai seorang cendekiawan muslim dengan kedalaman dan keluasan ilmu di bidang fiqih dan syariat Islam, khususnya di bidang ekonomi syariah.

"Tak heran bila sejak awal didaulat sebagai calon wakil presiden mendampingi calon petahana presiden Joko Widodo, Kyai Ma’ruf langsung memaparkan strategi pembangunan ekonomi Indonesia ke depan," kata Rama kepada SINDONews, Jumat (21/9/2018).

Sesuai penjelasan Ma'ruf dalam beberapa kesempatan, ujar Rama, Ma'rufnomics tersebut disandarkan pada sila ke-5 Pancasila berwujud ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial dengan titik penekanan pemerataan ekonomi.

"Membangun yang lemah bukan dengan melemahkan yang kuat. apalagi dengan membenturkan yang lemah dengan yang kuat. Membangun yang lemah dengan menguatkan yang lemah melalui kolaborasi kemitraan antara yang kuat dengan yang lemah. Sehingga outputnya adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat," ujar dia.

Rama menuturkan, penekanan Ma’ruf terhadap persoalan ketimpangan ekonomi ini sejalan dengan realitas, di mana kekayaan 50% penduduk Indonesia menurun dalam lima tahun terakhir, dari 3,8% total kekayaan nasional menjadi 2,8%.

"Hal ini tercermin pula pada penguasaan 1% penduduk terkaya terhadap 45% kekayaan nasional. Sebagaimana lembaga Oxfam International dalam laporan 2017 mengilustrasikan empat miliarder terkaya Indonesia memiliki kekayaan lebih dari gabungan 100 juta orang termiskin," tutur Rama.

Laporan Oxfam, ungkap Rama, juga mengungkap telah terjadi konsentrasi kekayaan pada kelompok kaya di Indonesia dalam 15 tahun terakhir. Kekayaan tersebut sebagian besarnya diperoleh dari sumber daya alam dan komoditas seperti kelapa sawit, batu bara, dan mineral lainnya.

Selain itu, kekayaan mereka juga diperoleh dari sektor keuangan, teknologi komunikasi dan multimedia. Kelompok kaya tersebut telah menggabungkan kekayaan senilai USD49,8 miliar, sementara 84% penduduk Indonesia lainnya memiliki kekayaan kurang dari USD10.000.

Karena itu, kata Rama, tidaklah mengejutkan ketika Credit Suisse pada 2016 menobatkan Indonesia memiliki ketimpangan pendapatan terburuk keenam dunia setelah Rusia, Denmark, India, Amerika, dan Thailand.

"Isu ketimpangan inilah yang memperlambat upaya peningkatan angka pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan. Ketimpangan itu juga mengancam kohesi sosial dan memicu dorongan untuk terlibat radikalisme dan terorisme," ungkap Rama.

Ekonomi Umat

Kandidat Doktor FEB UI ini pun menyoroti istilah ekonomi umat yang diusung Ma'ruf. Menurut Rama, istilah tersebut sebenarnya merujuk kepada ekonomi berbasiskan nilai universal.

Umat yang dimaksud adalah seluruh umat beragama yang saling berinteraksi dalam bingkai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Ekonomi umat bukanlah milik umat Islam semata. Ketika ekonomi umat dikembangkan dalam koridor umat Islam sebagai mayoritas, tidak berarti mengesampingkan umat minoritas lainnya," kata Rama.

Menurut dia, mengembangkan ekonomi umat berarti memberdayakan semuanya, menitikberatkan pemerataan, keadilan sosial, dan kepedulian guna memperkecil ketimpangan ekonomi saat ini.

Dalam tiga tahun terakhir, ekonomi umat telah mengalami peningkatan cukup signifikan yang berkembang dalam bentuk lembaga perbankan syariah dan telah diadaptasi oleh lembaga keuangan lainnya, seperti sektor asuransi, pegadaian, hingga pasar modal dan pasar komoditas berbasis syariah.

"Peningkatan terjadi tidak hanya dalam hal aset, namun juga dalam variasi produk, kesadaran dan pemahaman terhadap keuangan syariah di kalangan pelaku industri dan masyarakat serta kerangka regulasi yang relatif sudah lengkap dan komprehensif," tutur dia.

Bahkan, perkembangan kinerja keuangan syariah tidak hanya terjadi pada sektor perbankan, namun juga pada asuransi syariah, pembiayaan syariah dan pasar modal syariah (berupa produk sukuk, reksadana syariah dan sukuk negara syariah) serta lembaga keuangan nonbank syariah lainnya.

Selain pangsa pasar perbankan syariah sebesar 5,33%, sukuk negara 14,82%, sukuk korporasi 3,99%, reksadana syariah 4,40%, lembaga pembiayaan syariah 7,24%, lembaga keuangan syariah 9,93%, lembaga keuangan mikro syariah 22,26%, dan asuransi syariah 3,44%.

"Jika saham emiten dan perusahaan publik yang memenuhi kriteria syariah juga dimasukkan, maka produk keuangan tersebut telah mencapai 55,13 persen dari total kapitalisasi pasar saham yang tercatat di Bursa efek Indonesia," ungkap Rama.

Meski begitu, Rama mengakui, di sektor riil masih ditemukan berbagai tantangan dan persoalan. Diperlukan redistribusi dan optimalisasi sumber daya alam secara arif dan berkelanjutan. Koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga perlu digerakkan agar mampu menjadi pelaku usaha di kancah perekonomian nasional.

"Kemitraan yang sejajar dan memberdayakan perlu dibangun antara usaha besar dengan usaha kecil dalam suatu sistem produksi dan pasar yang terintegrasi," ujar dia.

Salah satu terobosan yang diusung Ma’rufnomics dan ekonomi umat dalam merevitalisasi ekonomi adalah kredit ultramicro di mana pemerintah menggelontorkan Rp1,5 triliun investasi bagi usaha pada level di bawah usaha mikro yang tidak dijangkau oleh program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan sejenisnya. "Kredit ultramikro ini dibuat sebagai evaluasi terhadap program KUR yang banyak kelemahan," kata rama.

Salah satu kelemahan KUR, tandas dia, adalah penggunaan instrumen perbankan dalam penyalurannya dengan berbagai kerumitan persyaratan dan administrasi. Sementara pelaku usaha mikro dan kecil hampir seluruhnya tidak bankable. Sedangkan kredit ultramikro disalurkan melalui lembaga keuangan bukan bank, seperti koperasi, BMT, dan koperasi pesantren.

"Salah satu peran Kyai Ma’ruf adalah mendorong agar porsi terbesar penyaluran kredit ultramikro tersebut dapat dilakukan melalui NU, Muhammadiyah, dan lembaga-lembaga keumatan lainnya sebagaimana tertuang dalam rekomendasi Kongres Ekonomi Umat 2017 yang diselenggarakan oleh MUI di Jakarta, April 2017 lalu," tandas dia.

Rama menyatakan, ketika Ma’rufnomics bertujuan untuk mengatasi ketimpangan guna mewujudkan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan, Ma'rufnomics sejatinya merevitalisasi ekonomi umat lewat inklusifitas program sebagai ciri utama dari revitalisasi ekonomi umat.

"Karena itu, jika ingin dijadikan sebagai arus baru ekonomi Indonesia, Ma’rufnomics harus berpihak kepada pembangunan sistem perekonomian nasional yang adil, merata, dan mandiri dalam mengatasi kesenjangan ekonomi," pungkas Rama.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.9609 seconds (0.1#10.140)