Cerita JK soal Konversi Minyak Tanah ke LPG: Warna Tabung Dibuat Netral

Senin, 13 Januari 2020 - 14:22 WIB
Cerita JK soal Konversi Minyak Tanah ke LPG: Warna Tabung Dibuat Netral
M Jusuf Kalla mendapatkan gelar doktor kehormatan dari ITB. Foto/SINDOnews/Arif Budianto
A A A
BANDUNG - M Jusuf Kalla atau yang akrab disapa JK menerima anugerah doktor kehormatan (honoris causa/HC) dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Salah satu yang menjadi pertimbangan pemberian gelar itu adalah produktivitas JK saat konversi minyak tanah ke LPG pada 2005. Saat itu, JK menjadi wakil presiden dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

JK saat itu berhasil menjalankan program konversi ke seluruh wilayah Indonesia secara cepat. Walaupun mendapat apresiasi dari berbagai negara, menjalankan program itu bukan perkara mudah. Banyak aral melintang hingga program tersebut sukses dijalankan.

Menurut JK, program tersebut dimulai pada tahun 2005 saat terjadi krisis energi sehingga harga minyak naik mencapai USD70 per barrel. Sehingga, perlu diambil kebijakan menaikkan harga BBM, menghemat pemakaian listrik, dan mengonversi minyak tanah ke gas LPG.

Saat itu, kata dia, subsidi energi mencapai Rp94 triliun, atau mewakili 21 persen belanja negara. Sehingga, mengurangi subsidi merupakan langkah yang harus ditempuh. Dimulai pada bulan Maret dan Oktober 2005, harga BBM dinaikkan 120 persen. (Baca Juga: M Jusuf Kalla Terima Gelar Doktor Kehormatan dari ITB).

"Kendati pun demikian suasana tetap tenang karena dibarengi dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin. Selain itu, keputusan menaikkan harga dilaksanakan di awal bulan puasa sehingga sulit menggerakkan masyarakat untuk berdemo," kata JK.

Sementara, pada konversi minyak tanah ke LPG, melihat pada subsidi minyak tanah yang telah mencapai lebih dari 40 persen subsidi energi, dengan tingkat kebocoran subsidi mencapai 20-30 persen. Di sisi lain, minyak tanah adalah produk yang inferior, selain berbau dan berasap, juga berbahaya.

"Kami pun melakukan studi literatur dan percobaan di rumah, di Bukaka dan di Universitas Trisakti. Kenapa dipilih Trisakti? Karena mereka banyak demo. Jadi kalau nanti program ini didemo, kan hasil riset mereka," kelakar JK.

Dari percobaan tersebut menunjukkan bahwa kalori dalam satu liter minyak tanah setara dengan kalori dalam 0,4 kilogram gas LPG. Artinya harga per-kalori gas LPG jauh lebih rendah daripada minyak tanah. Inilah penelitian dan percobaan yang paling murah, hanya Rp60 juta untuk program puluhan triliun.

Dia mengakui, konversi minyak tanah bukan masalah teknis semata. Ada masalah mindset, budaya, dan keuangan. Perlu waktu dan investasi besar untuk menjalankan rencana, padahal situasi fiskal negara memerlukan solusi cepat. Termasuk adanya penolakan dari kepala daerah.

Di sisi lain, diproduksi 125 juta tabung gas LPG dan 60 juta kompor gas dalam waktu singkat. Ukuran tabung dibuat relatif kecil (3 kilogram) sehingga mudah dipindahkan oleh ibu rumah tangga dan gampang dijinjing oleh para pedagang kaki lima. Bahkan, warna tabung pun dipilih warna yang netral agar tidak diasosiasikan dengan partai tertentu.

Harga satu tabung gas LPG juga didesain setara dengan biaya minyak tanah seminggu yaitu Rp14.000. Selain itu, tabung gas LPG pertama termasuk isi dan kompor dibagikan secara gratis untuk dicoba oleh masyarakat.

Akhirnya, kata dia, program edukasi dan insentif yang tepat ternyata mampu mengubah pola hidup 60 juta keluarga yang sudah terbiasa memakai minyak tanah selama 50 tahun. Alhasil, proses konversi pun tuntas dalam waktu tiga tahun dan oleh Asosiasi Gas International program ini dinilai sebagai salah satu yang tercepat dan terbaik di dunia.

"Banyak negara datang ke Indonesia untuk belajar dan saya pun diundang berbicara di banyak forum untuk berbagi pengalaman. Bagaimana dengan sumber pembiayaan program konversi minyak tanah? Biaya subsidi minyak tanah saat itu mencapai sekitar Rp40 triliun per tahun, sedangkan biaya konversi hanya sekitar Rp20 triliun. Artinya, biaya konversi setara dengan 50 persen biaya subsidi minyak tanah dalam satu tahun atau IRR 200%, padahal penghematan subsidi akan terus terjadi selama bertahun-tahun," jelasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8847 seconds (0.1#10.140)