Pakar HTN Yakin MK Tolak Gugatan Mahasiswa soal Aturan Nyalakan Lampu Motor

Minggu, 12 Januari 2020 - 22:25 WIB
Pakar HTN Yakin MK Tolak Gugatan Mahasiswa soal Aturan Nyalakan Lampu Motor
Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid. Foto/Koleksi Pribadi Fahri Bachmid
A A A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Dr Fahri Bachmid SH, MH yakin Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Permohonan pengujian Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang diajukan dua mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI).

Fahri Bachmid menyampaikan argumentasi yuridis yang didasarkan pada dalil dan legal standing sebagimana dikemukakan dua mahasiswa UKI Eliadi Hulu dan Ruben Saputra Hasiholan Nababan, yang membandingkan dengan kasus Presiden Jokowi mengendarai motor tanpa menyalakan lampu.

"Presiden Jokowi mengendarai motor telah sejalan dengan norma hukum yang diatur dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Apakah tepat dalil yang dikemukakan oleh mahasiswa UKI dengan mengajukan judicial review ke MK? Apakah mereka mempunyai “legal standing” untuk ajukan perkara ini? Kemudian apakah mereka mengalami kerugian konstitusional dari berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan?" kata Fahri kepada wartawan, Minggu (12/1/2020).

Namun demikian, Fahri Bachmid menghormati langkah yang diambil dua mahasiswa UKI dengan menggugat UU LLAJ ke MK itu. Menurut Fahri Bachmid langkah serta opsi ajudikasi yang diambil mahasiswa UKI ke MK harus dipandang sebagai penggunaan hak konstitusional warga negara yang mempersoalkan konstitusionalitas sebuah norma, pasal, ayat dan bagian tertentu dari sebuah UU yang berlaku

"Konstitusi memberikan jaminan untuk itu dan wajib dihormati sebagai wujud konsekuensi sebuah negara hukum (supremasi konstitusi)," ujar Fahri.

Fahri menuturkan, sangat sulit untuk dapat mengkualifikasi bahwa mahasiswa UKI itu mempunyai kepentingan dan kerugian konstitusional baik langsung maupun potensial terhadap berlakunya norma UU tersebut.

Apalagi, tutur dia, dalil permohonan mereka telah masuk pada kasus kongkret, yaitu Presiden Jokowi yang mengendarai sepeda motor tanpa nyalakan lampu.

"Ini bukan persoalan konstitusionalitas penerapan sebuah norma UU, tetapi lebih pada kasus kongkret, sehingga, secara teoritik maupun konstitusional sangat sulit MK akan mengabulkan permohonan seperti itu," tutur Fahri.

Menurut Fahri, berdasarkan konstruksi hukum sesuai UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, Fahri menyebutkah bahwa apa yang mahasiswa UKI itu ajukan atau “chalange” adalah norma UU.

Sementara, sifat putusan MK adalah “ergo omnes”. Maka dari itu, Fahri mengatakan bahwa yang dipersoalkan mahasiswa UKI adalah norma hukum, bukan Presiden dalam tindakannya.

Fahri mengungkapkan, sesungguhnya tidak ada yang keliru dengan Presiden mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan lampu, sebab di dalam UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mengatur secara komprehensif berbagai hal.

Bahkan sampai pada norma pengecualian dalam keadaan atau hal tertentu, termasuk pengguna jalan lalu lintas yang mendapat prioritas, termasuk kepala negara, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 134 point d dan g yang menyebutkan bahwa “Pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut:

"Point d. Kenderaan pimpinan lembaga negara republik indonesia; g. Konvoi dan/atau kenderaan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas kepolisian negara republik indonesia, serta ketentuan pasal 135 ayat (1). Yang menyebutkan bahwa “Kenderaan yang mendapat hak utama sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 harus dikawal oleh petugas kepolisian negara republik indonesia dan/atau mengunakan isyarat lampu merah atau biru fan bunyi sierene. Bahwa dengan demikian, maka dari sisi peraturan perundang-undangan, maka tidak ada pelanggaran hukum atas apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi," ungkap dia.

Sementara dari segi materil, kata Fahri, berdasarkan teori perundang-undangan maka sesungguhnya apa yang telah diatur dalam UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, hal tersebut bersifat “open legal policy”.

Hal itu tentunya merupakan otoritas pembentuk UU untuk mengatur segala sesuatu dan bukan persoalan konstitusionalitas sebuah norma hukum. Atas hal itu, mahkamah telah mempunyai pendirian tetap “vaste jurisprudentie” untuk tidak akan masuk pada ranah pembentuk undang-undang.

Menurut Fahri Bachmid, norma pengaturan yang diatur dalam UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesungguhnya merupakan “Open Legal Policy” atau kebijakan hukum terbuka pembentuk UU.

Dengan demikian, Fahri menegaskan bahwa dari segi hukum tata negara, tidak ada persoalan konstitusionalitas atas permasalahan tersebut.

"Tetapi kami harus menghargai upaya hukum tersebut. Saya yakini bahwa MK akan menyatakan tidak dapat menerima permohonan pemohon atau setidak-tidaknya menolak secara keseluruhan permohonan pemohon," tutup Fahri Bachmid yang juga merupakan seorang advokat ini.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.3008 seconds (0.1#10.140)