Pidato Refleksi Akhir Tahun, Rektor IPB Bahas Optimisme dan SDM Unggul

Jum'at, 27 Desember 2019 - 21:31 WIB
Pidato Refleksi Akhir Tahun, Rektor IPB Bahas Optimisme dan SDM Unggul
Rektor IPB Arif Satria saat menyampaikan pidato refleksi akhir tahun bertajuk, Kebebasan Akademik dan Transformasi Demokrasi. Foto/Dok.DPP PGK
A A A
BANDUNG - Rektor Institute Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menyampaikan pidato refleksi akhir tahun bertajuk "Kebebasan Akademik dan Transformasi Demokrasi" di kantor DPP Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (27/12/2019).

Hadir pada kesempatan ini, Ketua Umum DPP PGK Bursah Zarnubi, Presiden Asian African Youth Government Benni Pramula, mantan Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat, anggota DPR Sri Meliyana, dan ratusan aktivis lintas generasi lainnya.

Arif mengatakan, pembangunan Indonesia tertinggal dari negara-negara maju, khususnya di Asia Tenggara, dalam berbagai lini kehidupan. Jangan sampai ketertinggalan tersebut membuat Indonesia pesimis.

"Optimisme dalam membangun bangsa adalah keharusan karena akan memberi energi positif dalam berpikir dan bertindak. Optimisme kini mulai mengalir dan momentumnya adalah 2045 persis 100 Tahun Indonesia merdeka. Diperkirakan Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia dengan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) sebesar USD7,3 Triliun dan pendapatan perkapita USD25 ribu," kata Arif.

Menurut Arif, semua negara sedang mengalami kegalauan karena masa depannya dihadapkan pada ketidakpastian. Beberapa negara yang dijadikan contoh. Misalnya, Inggris galau karena keputusannya tentang Brexit.

Singapura galau karena ketidakpastian yang akan muncul pascaberoperasinya Terusan Kra Proyek Thailand dan Tiongkok yang berpotensi membunuh pelabuhan Singapura.

Begitu juga dengan Amerika Serikat yang dihantui dinamika politik internal yang bisa membuat ketidakpastian. "Negara-negara produsen elektronik galau akibat disrupsi inovasi yang membuat produknya menjadi obsolete (usang atau tak terpakai)," papar Arif.

Menurut Arif, hidup di era Vuca memang penuh guncangan perubahan yang disertai ketidakpastian karena situasi semakin kompleks. Vuca disebut-sebut akan membuat manusia fragile atau rapuh.

Namun demikian, ujar dia, fragility akibat Vuca dapat dikonversi menjadi agility bila disiapkan dengan skill baru. Antata lain, menciptakan kekuatan visi baru tentang masa depan, kreativitas, risk literasi, complex problem solving, fleksibilitas, dan kolaborasi.

Arif mengutip studi Mc Kinsey 2019 yang menunjukkan bahwa di Indonesia ada 23 pekerjaan yang akan digantikan mesin akibat otomisasi. Pada saat sama, 27 hingga 46 juta pekerjaan baru akan tercipta. "Artinya, Vuca tetap membuka peluang bagi orang-orang yang adaptif," ujar Arif.

Arif melontarkan pertanyaan bagaimana posisi perguruan tinggi di Indonesia di tengah keharusan optimisme dalam situasi Vuca yang membingungkan ini? Arif menuturkan, Indonesia maju membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul.

"Untuk SDM unggul butuh perguruan tinggi. Namun apakah perguruan tinggi atau kampus menjamin akan menghasilkan SDM unggul," tanya Arif.

Menurut Arif, SDM unggul adalah yang adaptif terhadap perubahan. Resposif terhadap perubahan mensyaratkan sejumlah soffskill seperti kemampuan belajar cepat, kelincahan, fleksibilitas, dan future mindset.

Perubahan, tutur Arif, hampir selalu membawa kebaruan. Menghadapi kebaruan dibutukan belajar cepat sehingga butuh mental sebagai pembelajar lincah.

"Futere mindset menarik geris ke depan dengan penuh keyakinan bahwa perubahan adalah keniscayaan. Futer maindset selalu siap dan sigap menghadapi perubahan dan ketidakpastian. Namun kecepatan dan kelincahan juga diperlukan menghadapi volatilitas," tutur Rektor IPB.

Arif mengungkapkan, ketidakpastian harus dihadapi dengan kolaborasi karena masa depan yang dahsyat pada umumnya berbasis kolaborasi. Manusia tidak mungkin sendiri-sendiri menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.

Sebab, kolaborasi memungkinkan terjadinya akumulasi potensi untuk menjadi kekuatan baru. Namun kolaborasi yang kuat akan tercipta bila disadari oleh rasa saling percaya tinggi. Di sini Arif mengutip pemikir politik Amerika Serikat Francis Fukuyama.

"Masyarakat di negara maju dicirikan dengan high trust society. Unsur penting dalam membangun high trust society adalah integritas, dan integritas akan muncul dari kejujuran," ungkap Arif.

Apa yang disampaikan Fukuyama tersebut, menurut Arif selaras dengan hasil riset T. Stanley yang menyebutkan bahwa dari 100 faktor yang membuat orang sukses ternyata IQ berada di urutan ke 21.

Maka itu, mengenyam pendidikan di sekolah favorit berada diurutan ke 23, dan lulus dengan nilai terbaik berada pada urutan ke 30.

Sementara itu, ungkap Arif, faktor yang menempati urutan kelima besar adalah kejujuran, disiplin, skill interpersonal yang baik dukungan dari pasangan hidup, dan bekerja lebih keras dari yang lain.

"Jadi menghadapi masa depan memerlukan integritas yang kuat, dan dengan SDM unggul yang dicirikan integritas yang kuat, soft skill yang bagus, dan hardisk yang tangguh," pungkas Arif.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.8720 seconds (0.1#10.140)