Pemerintah Didesak Bentuk Badan Otorita Citarum

Jum'at, 27 Desember 2019 - 15:40 WIB
Pemerintah Didesak Bentuk Badan Otorita Citarum
Ketua Pelija MQ Iswara memaparkan sejumlah catatan persoalan lingkungan di Jabar dalam Refleksi Akhir Tahun 2019 Pelija, Kamis 26 Desember 2019 malam. Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Peduli Lingkungan Jawa Barat (Pelija), sebuah organisasi non-pemerintah nirlaba yang bergerak di bidang lingkungan hidup, mendesak pemerintah segera membentuk badan otorita dalam penanganan Sungai Citarum.

Desakan tersebut menjadi salah satu sorotan Pelija dalam Refleksi Akhir Tahun 2019 Pelija yang mengusung tema "Satukan Aksi Lestarikan Bumi" yang digelar di kawasan Jalan Lengkong, Kota Bandung, Kamis 26 Desember 2019 malam.

Ketua Pelija MQ Iswara menyatakan, terdapat sejumlah sorotan terhadap kondisi lingkungan di Provinsi Jabar yang menjadi catatan Pelija dalam Refleksi Akhir Tahun 2019. Salah satu catatan yang mendesak untuk direalisasikan, yakni pembentukan badan otorita dalam penanganan Sungai Citarum.

Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri menargetkan bahwa Sungai Citarum yang masih tercemar akan kembali bersih dalam waktu 7 tahun melalui program Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Bahkan, Jokowi pun sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum.

Perpres tersebut juga menjadi landasan hukum pencanangan program Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum atau yang lebih dikenal dengan nama program Citarum Harum yang dicanangkan Februari 2018 lalu, termasuk pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Citarum Harum yang dikomandoi Gubernur Jabar Ridwan Kamil.

Iswara menuturkan, sejak dicanangkan tahun lalu, penanganan pencemaran Citarum oleh Satgas Citarum yang melibatkan seluruh stakeholder ini menunjukkan progres yang positif, khususnya dengan adanya keterlibatan anggota TNI dan Polri. Namun, pihaknya memandang, Satgas Citarum tidak dapat bekerja optimal mengingat keberadaan Satgas Citarum sendiri hanyalah organisasi yang bersifat adhoc atau sementara.

"Kami melihat bahwa Satgas Citarum sudah sangat baik, khususnya dengan keterlibatan TNI. Tapi ini sampai kapan? kan TNI punya tugas yang lebih prioritas," katanya.

"Usulan kami masih sama seperti tahun lalu, yakni dibentuk badan otorita yang secara prinsip tidak temporer, tidak adhoc," tegasnya.

Menurut Iswara, meski penanganan Citarum oleh Satgas Citarum menunjukan progres positif, namun sungai yang melintasi 11 kabupaten/kota di Jabar dan menjadi hajat hidup 43 juta jiwa penduduk Jabar dan DKI Jakarta itu belum bisa terbebas dari limbah, khususnya akibat kesadaran masyarakat yang masih rendah.

"Kami menilai pembentukan badan otorita ini sudah mendesak. Kan dulu mimpinya air Citarum bisa diminum, tapi kan itu masih jauh. Minimal jadi air baku dulu, dari hulu di Cisanti sampai hilir di Muara Gembong. Sekarang kan masih jadi tempat pembuangan limbah. Kita lihat sendiri kemarin, pejabat pusat juga tidak happy melihat Citarum," paparnya.

Iswara yakin, dengan hadirnya sebuah badan otorita yang sifatnya permanen, penanganan Citarum akan lebih optimal. Selain bakal memiliki kebijakan yang lebih kuat, kewenangannya pun lebih luas. Terlebih, penanganan Citarum membutuhkan anggaran yang besar.

"Jadi, lebih baik dibuat badan otorita saja. Bagi kami, (target) 7 tahun tidak lama, jadi pembentukan badan otorita ini medesak," katanya.

Selain Citarum, pihaknya juga menyoroti persoalan Kawasan Bandung Utara (KBU) yang kondisinya masih memprihatinkan. Menurutnya, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2016 perlu disertai aturan hukum yang lebih rinci, yaitu peraturan gubernur (pergub).

Iswara menekankan, di KBU yang meliputi kawasan Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat (KBB), dan Sumedang masih banyak terjadi degradasi kualitas lingkungan, seperti banyaknya bangunan gedung, rumah, hotel yang secara kasat mata tidak layak yang berpotensi menimbulkan bencana.

"Kami berharap pemprov memberikan rekomendasi lebih selektif karena KBU belum menjadi daerah tangkapan air yang bisa menahan limpasan air dari hulu ke cekungan Bandung. Kami tidak ingin kejadian seperti tahun lalu dimana ada rumah yang kebanjiran, mobil yang hanyut, bahkan korban jiwa," paparnya.

Tren serupa pun, kata Iswara, masih terlihat di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor dimana banyak bangunan yang dibangun sporadis. Bahkan, secara kasat mata bisa terlihat banyak bangunan yang berada di atas lahan yang tingkat kemiringannya tidak sesuai. Padahal, kawasan Puncak sendiri merupakan daerah tangkapan air.

"Kita tidak ingin selalu disalahkan sebagai penyebab banjir kiriman ke wilayah Depok, Jakarta. Kita berharap, pemerintah lebih tegas menegakkan aturan, termasuk konservasi di Puncak," ujarnya.

Lalu, berkaitan dengan moratorium penambangan di kawasan Jabar Selatan yang tertuang dalam Perda Nomor 28 Tahun 2010, pihaknya juga mendesak Pemprov Jabar segera merilis hasil kajiannya dan melakukan evaluasi menyeluruh.

"Kami berharap pemprov masih melakukan moratorium dan segera merilis hasil kajiannya. Ini kan sampai sekarang belum ada. Aturannya bisa dievaluasi secara menyeluruh. Kalau hasilnya masih mengkhqwatirkan, moratorium harus tetap dilanjutkan," katanya.

Terakhir, pihaknya menyoroti kawasan industri di Jabar yang pertumbuhannya sangat pesat, seperti Bekasi, Karawang, dan Subang, terlebih pascaberoperasinya Tol Elevated Jakarta Cikampek. Menurutnya, kondisi tersebut harus diantisipasi, agar pembangunan di kawasan itu tidak menyalahi rencana tata ruang wilayah (RTRW) maupun rencana detail tata ruang (RDTR).

"Kami tidak ingin ada kejadian perencanaan seperti Cilamaya yang tidak sesuai dengan RTRW provinsi dan kabupaten. Daerah yang tumbuh pesat itu harus diperhatikan," tegasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.6707 seconds (0.1#10.140)