Peran Badan POM Dikurangi Kemenkes, PBNU Gelar FGD dengan Pemangku Kepentingan

Minggu, 15 Desember 2019 - 22:42 WIB
Peran Badan POM Dikurangi Kemenkes, PBNU Gelar FGD dengan Pemangku Kepentingan
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), akan mengkaji substansi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (RPP) dari berbagai aspek, baik produksi dan izin edar, termasuk memberikan rekomendasi dan solusi
A A A
JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), akan mengkaji substansi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (RPP) dari berbagai aspek, baik produksi dan izin edar, termasuk memberikan rekomendasi dan solusi bagi RPP tersebut.

Pembahasan usulan, rekomendasi dan solusi itu akan dilakukan Lembaga Bahtsul Masail PB NU, 17 Desember 2019 bertempat di kantor pusat PB NU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat.

Bahtsul Masail merupakan sebuah forum diskusi antar ahli keilmuan Islam (terutama Fikih) di lingkungan pesantren yang berafiliasi dengan NU. Di forum ini, berbagai macam persoalan keagamaan yang belum ada hukumnya, belum dibahas ulama terdahulu, dibahas secara mendalam.

Dalam forum ini seluruh tokoh-tokoh NU akan diundang guna membicarakan berbagai masalah dalam lingkup kesehatan seperti soal defisit BPJS Kesehatan, pengamanan sediaan farmasi (solusi atas mahalnya harga obat), alat kesehatan dan kebijakan lainnya yang berdampak bagi masyarakat Indonesia.

Beberapa tokoh yang telah menyatakan kesediaannya untuk menghadiri forum ini antara lain, Ketum PBNU, KH Said Aqil Sirodj, Rais Syuriyah PBNU Ahmad Ishomuddin, Staff Khusus Wapres Imam Azis, Pelaku Pendirian Badan POM-RI, BIna Suhendra, anggota Komisi IX DPR-RI, Anggia Ermarini, Staf Khusus Menkes, Daniel Tjen, Pelaksana Harian YLKI, Tulus Abadi dan pelaku industri kesehatan.

Sekretaris Bahtsul Masail PBNU, Sarmidi Husna mengungkapan fokus utama pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-KH Ma’ruf Amin adalah menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul bagi Indonesia.

Untuk menciptakan hal tersebut, tambah Sarmidi, terdapat dua faktor yang mendasarinya yaitu pendidikan dan kesejahteraan. “Dalam bidang pendidikan pemerintah terus berupaya agar seluruh Warga Negara Indonesia mendapatkan kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya,” kata Sarmidi, kemarin.

Dalam bidang kesejahteraan, lanjut dia, faktor yang sangat memengaruhi adalah kesehatan, mengingat untuk menjalankan berbagai macam kegiatan setiap manusia perlu sehat dalam arti mendapatkan jaminan dari pemerintah.
Sarmidi mengamati bahwa dalam beberapa waktu belakangan isu-isu seputar kesehatan muncul dan menjadi polemik di masyarakat seperti rencana pemerintah untuk tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan Kelas III yang akhirnya gagal diterapkan, mahalnya harga obat, ketersediaan alat kesehatan yang belum terpenuhi. “Hal ini jelas meresahkan masyarakat dan harus segera diantisipasi mulai dari sekarang,” kata Sarmidi.

Seperti diketahui Badan POM adalah lembaga yang dibentuk era pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), peran lembaga ini cukup penting dan sentral dalam mengawal produk obat dan makanan di Indonesia.

Pemerintahan Presiden Gus Dur, saat itu menilai Indonesia harus memiliki badan khusus yang berdiri sendiri, tidak dibawah Departemen Kesehatan (Kemenkes, red) seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain.

Hal lain yang juga akan dibicarakan dalam Bahtsul Masail adalah soal rencana Kemenkes mengambil alih wewenang izin edar yang saat ini ditangani oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).

Namun sejumlah pihak mempersoalkan rencana tersebut. Mereka menilai pengambilalihan kewenangan itu cacat hukum karena menabarak Keppres dan Perpres, karena BPOM adalah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang tugas, fungsi dan kewenangannya diatur oleh Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2/2003 dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Presiden Jokowi pada 9 Agustus 2017 juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor: 80/2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan yang secara tegas menetapkan BPOM sebagai LPNK yang menyelenggarakan urusan pemerintah dalam bidang pengawasan obat serta makanan.

Selain itu, mereka mempermasalahkan alasan pengambil-alihan untuk menekan harga obat. Karena masalah utama mahalnya harga obat jelas bukan masalah perizinan, tapi masalah bahan baku obat yang hampir 100 persen masih impor, dan rantai distribusi obat yang sangat panjang. Bahkan dugaan adanya mafia impor obat inilah pemicu mahalnya harga obat.

Pengambil alihan perizinan edar obat ini juga tidak sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi yang sejak awal ingin memperkuat kelembagaan dan fungsi BPOM. Artinya Presiden ingin memperkuat pengawasan, baik pre market control dan post market melalui Inpres 3 tahun 2017 tentang Peningkatan Efektifitas Pengawasan Obat. Masalah ini juga mulai merambah pada permasalahan subtansi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.

“Oleh karena itu, PBNU mengumpulkan sejumlah tokoh agama untuk meninjaunya dari sisi ke-Islaman, tokoh dunia kesehatan dan pemerintah untuk dijadikan rekomendasi dan solusi atas masalah yang terjadi, yang tidak kalah penting, kami akan mengawal rekomendasi tersebut,” kata Sarmidi.

Pada 25 November 2019 lalu, PBNU telah menyampaikan surat rekomendasi kepada DPR-RI tentang Revisi Menyeluruh terhadap UU No.33 2014 tentang jaminan produk halal. PBNU menilai bahwa UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang JPH bermasalah secara filosofis.

Undang-undang ini bertentangan dengan kaidah dasar hukum, yakni al-ashlu fil asyya’i al-ibahah illa an yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (pada dasarnya semua dibolehkan/halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkan.

PBNU, juga menyoroti UU Tentang JPH secara sosiologis. Masyarakat Indonesia mayoritas muslim, kondisi ini berbeda dengan negara-negara lain di mana masyarakat muslim merupakan penduduk minoritas yang perlu dilindungi oleh negara melalui regulasi dari segi konsumsi makanan haram. Oleh karena itu produk dari regulasi ini salah satunya adalah jaminan halal atau sertifikat halal.

Dalam konteks sosiologis di Indonesia, yang seharusnya disertifikasi adalah produk-produk yang tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat tertentu. Dalam kaitan itu PBNU merekomendasikan agar lembaga yang ada seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan RI dan Standar Nasional Indonesia diperkuat.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.6041 seconds (0.1#10.140)