Tata Kelola Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal Perlu Dihidupkan

Jum'at, 13 Desember 2019 - 11:41 WIB
Tata Kelola Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal Perlu Dihidupkan
Dedi Mulyadi. Foto/Dok Dedi Mulyadi
A A A
BANDUNG - Pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal mulai ditinggalkan. Akibatnya, keseimbangan alam terganggu hingga menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Oleh karenanya, tata kelola lingkungan berbasis kearifan lokal dinilai perlu kembali dihidupkan.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi bertepatan dengan kehadirannya dalam Konferensi Perubahan Iklim di Madrid, Spanyol, Kamis 12 Desember 2019. Dedi hadir bersama jajaran pimpinan Komisi IV DPR RI dalam konferensi internasional tersebut.

Dedi menuturkan, keseimbangan alam yang terganggu merupakan fenomena dari perubahan musim atau iklim. Di Indonesia sendiri, istilah perubahan iklim sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu yang dikenal dengan pancaroba.

"Pancaroba atau perubahan iklim adalah terjadinya lima perubahan waktu dalam kehidupan manusia. Sebuah fenomena ketidakseimbangan alam yang mengakibatkan kekacuan dalam pancaroba, kekacauan kehidupan," jelas Dedi dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis 12 Desember 2019 malam.

Dedi pun mengibaratkan pancaroba dalam pewayangan seperti kisah Krisna dan Arjuna yang dicabut nyawanya hingga menyebabkan kehancuran akibat peperangan. Nyawa keduanya dicabut ketika menghadapi musuh, sehingga memunculkan malapetaka. Krisna dan Arjuna dalam dunia pewayangan adalah faktor penting dalam menjaga keseimbangan.

"Cerita itu menunjukkan bahwa ajaran kesimbangan itu sebenarnya sudah ada dalam spiritualitas Indonesia, misalnya ada ajaran keseimbangan manusia dengan alam, manusia dengan manusia, yang di dalamnya adalah bentuk penyerahan diri pada Tuhan," katanya.

Dedi melanjutkan, era modern yang terjadi di dunia, termasuk di Indonesia saat ini ditandai dengan upaya mengejar keuntungan ekonomi sebagai indikator kebahagiaan lewat eksploitasi sumber daya alam.

"Eksploitasi melahirkan perusakan hutan, gunung, dan laut. Kerusakan itu melahirkan ketidakseimbangan," jelasnya.

Dedi mencontohkan, saat orde baru, Indonesia membangun sektor pertaniannya lewat modernisasi pengelolaan lingkungan. Saat itu, pestisida yang merusak lingkungan mulai digunakan. Tidak hanya itu, hutan pun dibabat dan diubah menjadi pekebunan dan sebagainya.

"Akhirnya, spiritualitas dan tata nilai local wisdom mulai ditinggalkan karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip negara modern," katanya.

Dengan kondisi tersebut, Dedi memandang bahwa pemerintah harus kembali menghidupkan kembali tata kelola lingkungan, agar kerusakan lingkungan tidak semakin parah lewat regulasi pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal.

Pertama, Dedi memandang bahwa hutan sebagai sumber ketahanan nasional. Maka, perlu dibuat undang-undang ketahanan nasional dalam konteks kehutanan. Menurut dia, Indonesia tidak perlu lagi membuka hutan untuk kepentingan ekonomi dan hutan harus kembali menjadi sumber ketahanan nasional.

"Jadi hutan dalam pandagan saya hari ini hanya berfungsi konservasi saja karena (untuk kepentingan) ekonomi sudah cukup, malah berlebih," katanya.

Kedua, perlu didorong pembuatan undang-undang perlindungan masyarakat adat. Sebab, kata Dedi, masyarakat adat adalah polisi kehutanan sejati di Indoneia. Merekalah yang menjaga alam indonesia berdasarkan kekuatan keyakinannya.

"Karena bagi mereka, hutan dan laut adalah tempat bersemayamnya Tuhan, sehingga terjadi sakralitas. Itu juga sama di masyarakat Amazon dan tempat lainnya," paparnya.

Terakhir, perlu dibuat undang-undang konservasi ekosistem dan sumber daya hayati. "Apabila berbicara konservasi, maka harus dibuat undang-undangnya, agar bisa dilindungi," katanya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.9560 seconds (0.1#10.140)