Dinilai Merugikan Advokat, Pakar HTN Minta MA Cabut SKMA Nomor 73

Selasa, 10 Desember 2019 - 17:48 WIB
Dinilai Merugikan Advokat, Pakar HTN Minta MA Cabut SKMA Nomor 73
Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid. Foto/Koleksi Pribadi Fahri Bachmid
A A A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Dr Fahri Bachmid SH MH menilai Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SKMA) RI Nomor 73/KMA/HK.01/01/2015 merugikan advokat sehingga sebaiknya Ketua MA mencabut SKMA 73 tersebut.

Penilaian itu disampaikan Fahri saat menjadi pembicara dalam Seminar Hukum Nasional bertajuk "Meningkatkan Profesionalitas Advokat Sebagai Officium Nobile Untuk Mendukung Kinerja Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan” yang berlangsung di Aula DPRD Provinsi Sematera Selatan, Sabtu (7/12/2019).

Selain Fahri, seminar nasional tersebut juga menghadirkan narasumber utama dari Dewan Pembina Peradi Prof Dr Otto Hasibuan SH MM dan Kabiro Hukum Pemorov Sumsel Ardani SH MH.

Dalam seminar, Fahri memaparkan panjang lembar perihal problematika yang merugikan organisasi advokat karena keberadaan SKMA RI Nomor 73/KMA/HK.01/01/2015 terkait pengangkatan seorang Advokat.

Fahri menilai, SKMA Nomor 73 tersebut tidak ada keharusan hukum dan mandat undang-undang yang mendasari serta memerintahkannya. Jadi, jika dilihat dari optik teori perundang-undangan, SKMA itu tidak memiliki legitimasi yuridis sama sekali.

"Apalagi cuman diatur dalam bentuk surat administrasi biasa, sehingga sulit secara hukum bagia setiap orang yang ingin men-challenge kepengadilan dan tidak cukup tersedia kanal penyelesaian sebagai upaya ajudikasi kepengadilan. Sejujurnya ini (SKMA Nomor 73) adalah sesuatu beleeid hukum yang kurang sehat dalam sebuah negara hukum yang demokratis," kata Fahri.

SK MA Nomor 73 itu, ujar dia, secara faktual merugikan Peradi sebagai organ negara yaitu dalam rumpun independent state organ yang juga melaksanakan fungsi negara. Peradi mempunyai delapan kewenangan sesuai Undang-undang Nomor 18/2003 tentang Advokat.

"Jadi itu (SKMA Nomor 73/2015) harus dicabut oleh MA. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 itu sendiri sudah cukup mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat," ujar dia.

Fahri menuturkan, misalkan advokat dalam melakukan pendampingan, memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, pelayanan hukum kepada masyarakat, access to justice kepada pencari keadilan, semua itu bisa diatasi oleh Peradi. "Secara organisatoris Peradi kan punya perangkat-perangkat itu sampai ke daerah-daerah, sampai ke pelosok-pelosok gitu,” tutur Fahri.

SKMA Nomor 73 yang dikeluarkan MA tersebut, ungkap dia, tidak memiliki bentuk hukum jelas. SKMA itu bukan peraturan yang bersifat Regeling dan hanya “Beleeid” hukum pimpinan Mahkamah Agung RI.

Karena itu, ungkap Fahri, SKMA Nomor 73 itu tidak memiliki daya ikat secara yuridis dan tidak mempunyai implikasi hukum apapun dari segi muatan materi peraturan perundang-undangan. Oleh karena pula, SKMA Nomor 73 tidak tergolong dalam hierarki peraturan perundang-perundangan sebagaimana diatur UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor Nomor 12 Tahun 2011.

“Jadi, SKMA No. 73 itu secara yuridis sebenarnya bermasalah. Sebab dia bukan bentuk hukum yang secara hierarki disebutkan dalam UU RI Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sehingga secara nyata bertentangan dengan norma UU RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Jadi itu (SKMA 73) yang barangkali harus direvisi," ungkap dia.

Lebih lanjut Fahri menyatakan, idealnya Ketua MA RI segera mencabut SKMA Nomor 73/KMA/HK.01/01/2015 dan menjadi kewajiban konstitusional kepada MA untuk memedomani Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XVII/ 2018 yang telah mengatur dengan cukup baik tentang tugas dan kewenangan Peradi.

Artinya, putusan MK itu telah mengatur eksistensi Peradi dengan segala atribut kewenangannya secara proporsional. Putusan MK tersebut juga memberikan mandat dan rekomendasi konstitusional kepada semua pihak berkepentingan, baik MA RI, pemerintah, maupun organisasi advokat itu sendiri.

"Sehingga dengan demikian, kebijakan hukum yang dikeluarkan dalam bentuk apapun, menjadi wajib berpedoman kepada spirit konstitusional sebagaimana telah digariskan oleh MK dalam putusan itu (Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XVII/ 2018)," kata Fahri.

Menurut Fahri, secara ketatanegaraan, MK berulang kali telah berbicara dalam berbagai putusan berkaitan dengan kedudukan Peradi sebagai wadah tunggal. Artinya Peradi sebagai satu-satunya wadah organisasi advokat berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Eksistensi Peradi pun telah dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, yang salah satunya adalah Putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006 yang menyatakan bahwa “Organisasi Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara”.

"Terahir MK kembali putuskan serta tegaskan eksistensi yuridis dan konstitusional Peradi dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-XVII/2018, sehingga secara terminologi hukum putusan a quo merupakan vaste jurisprudentiedan mempunyai derajat expressive verbis untuk dilaksanakan dan mengikat untuk semua pihak, hal tersebut wajib ditaati sebagai konsekwensi supremasi konstitusi," pungkas Fahri.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.4513 seconds (0.1#10.140)