Secuil Harapan pada Konverter Kit untuk Kehidupan Lebih Baik

Sabtu, 07 Desember 2019 - 11:09 WIB
Secuil Harapan pada Konverter Kit untuk Kehidupan Lebih Baik
Syamsu Rizal, sopir angkot di Bandung yang menikmati hematnya menggunakan bahan bakar gas (BBG). Foto/SINDOnews/Arif Budianto
A A A
BANDUNG - Dua puluh tahun lamanya Syamsu Rizal duduk di belakang kemudi angkutan kota. Dia bekerja keras menyusuri macetnya jalanan Bandung demi menghidupi istri dan dua anaknya. Program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) diikutinya demi berharap secuil tambahan penghasilan.

Pagi itu, Syamsu Rizal bergegas berangkat membawa mobil angkutan kota (Angkot) jurusan Antapani-Ciroyom. Perut kosong dan dinginnya udara Bandung tak dihiraukan. Pandangannya lurus ke depan, menyusuri jalan di lajur kiri sembari tak henti membunyikan klakson. Menawarkan jasa angkutan bagi warga Bandung yang hendak bepergian.

Penumpang demi penumpang dilayani dengan penuh kesabaran. Rasa pegal kaki kiri menginjak kopling tak dihiraukan lagi. Jarak tempuh Antapani-Ciroyom (PP) sepanjang 20 kilometer tak lagi terasa jauh. Pikiran Syamsu fokus, naik dan turunkan penumpang sebanyak-banyaknya.

Lembar demi lembar uang kertas pecahan Rp2.000 dan koin Rp500 dikumpulkannya. Baginya, satu koin saja sangat berarti. Apalagi, jumlah armada angkot saat itu terus bertambah. Di sisi lain, masyarakat pengguna sepeda motor mulai menjamur. Transportasi berbasis online juga terus bertambah, mengikis penumpang yang jumlahnya terbatas.

Saat itu, Syamsu merasakan beratnya mencari nafkah. Istrinya yang hanya ibu rumah tangga, berpangku tangan padanya. Sementara dua putrinya menempuh pendidikan tinggi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) di Bandung. Menghidupi mereka perlu biaya untuk uang semester, buku, uang jajan, dan lainnya.

Di tengah himpitan ekonomi dan penumpang yang semakin berkurang, Pemkot Bandung bersama kementerian terkait memberi secercah harapan. Tepatnya pada 2016, pemerintah menawarkan konversi BBM ke BBG bagi sekitar 30 angkot jurusan Antapani-Ciroyom.

"Itu kabar gembira bagi kami para sopir angkot, di tengah kondisi penumpang yang kurang bagus. Karena kalau pakai gas, bahan bakar lebih irit, sehingga biaya operasional kami lebih ringan," kata Syamsu.

Betul saja, harapan kehidupan yang lebih baik itu datang. Jika biasanya dia harus merogoh dompet antara Rp90.000 hingga 100.000 untuk empat rit Antapani-Ciroyom, kini bisa dipangkas. Syamsu hanya perlu mengeluarkan uang untuk bahan bakar gas jenis PNG Rp60.000/empat rit/hari.

"Lumayan, saya bisa menyisihkan Rp40.000-an. Itu jumlah yang sangat cukup bagi kami. Bisa untuk makan dan biaya hidup keluarga," ujar pria asal Padang, Sumatera Barat yang telah tinggal di Bandung puluhan tahun lamanya.

Sejak angkotnya menggunakan BBG, dia merasa lebih nyaman bekerja. Syamsu bisa fokus berkendara, tak melulu untuk kejar setoran. Penghasilan kotor Rp250.000/hari baginya sudah lebih dari cukup. Untuk setoran dia hanya perlu Rp110.000 dan biaya beli BBG Rp60.000. Masih tersisa Rp80.000 untuk biaya hidup di kota besar.

"Alhamdulilah dua anak saya bisa lulus kuliah. Sekarang anak pertama saya sudah menjadi PNS di Palembang dan berencana ambil S2. Sedangkan anak kedua saya sudah bekerja di perusahaan farmasi di Bandung," beber pria yang berpenampilan sederhana itu.

Kendati Syamsu hanya seorang sopir angkot, dia bertekad agar anaknya hidup lebih baik. Sesulit apapun mencari uang, dia berkeyakinan Tuhan akan memberinya jalan keluar. Sebagai orang tua, hanya ilmu yang bisa dititipkan kepada anak-anaknya untuk bekal mengarungi kehidupan ini.

Kini, Syamsu telah berusia 66 tahun. Sejak awal 2018, dia tak lagi menjadi sopir angkot. Dua putrinya yang telah bekerja mapan tak lagi mengizinkannya duduk di belakang kemudi mobil jurusan Antapani-Ciroyom. Angkotnya pun kini telah dijual.

"Sebenarnya program angkot pakai gas ini sangat bagus. Saya merasa sangat terbantu. Sayang sebenarnya menjual angkot itu karena BBG-nya sangat hemat. Tetapi karena servisnya agak sulit, terpaksa saya jual," kata Syamsu yang memilih tetap datang ke Terminal Antapani untuk sekadar berbincang dengan sopir angkot lainnya.

Dia mengaku, sangat mendukung bila program konversi BBM ke BBG digencarkan oleh pemerintah dan perusahaan terkait seperti PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Program cukup membantu para sopir angkot di tengah makin lesunya bisnis transportasi umum. Apalagi, bila dibarengi ketersediaan konverter kit yang murah dan service center.

Efisiensi penggunaan bahan bakar gas jenis PNG juga dirasakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung. Sebanyak 10 kendaraan operasional dinas mendapat bantuan pemasangan konverter kit dari pemerintah pusat. Konversi 10 kendaraan dinas Pemkot Bandung berbarengan dengan program bagi 30 angkot jurusan Antapani-Ciroyom dan 50 taksi Bluebird.

Menurut Kepala Seksi Kelaikan dan Keselamatan Transportasi Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung Viky Ardi, program konversi BBM ke BBG cukup membantu dinas mengurangi belanja operasional bahan bakar. Biasanya, dalam satu minggu satu kendaraan bisa menghabiskan 50 liter BBM. Berbeda saat menggunakan BBG, pihaknya hanya mengeluarkan dana Rp50.000.

"Itu sangat membantu kami menekan biaya operasional dinas. Apalagi saya yang bekerja di lapangan, harus mobile ke beberapa tempat, sehingga pengeluaran untuk membeli bahan bakar cukup tinggi," kata Viky.

Secuil Harapan pada Konverter Kit untuk Kehidupan Lebih Baik


Respons positif juga disampaikan beberapa pelaku transportasi umum di Bandung seperti pengemudi angkot dan taksi. Menurut Viky, saat itu, taksi Bluebird dengan sukarela beralih menggunakan BBG dan dipasang konverter kit di kendaraannya. Sampai saat ini, beberapa armada Bluebird di Bandung masih menggunakan BBG.

"Taksi Bluebird masih banyak yang menggunakan BBG. Walaupun itu bukan lagi kebijakan manajemen Bluebird, tapi banyak pengemudi yang masih memakainya. Ya, sebenarnya sampai sekarang mereka masih berharap agar program ini terus berjalan," beber dia.

Kendati begitu, beberapa kendala yang dihadapi kendaraan pengguna konverter kit adalah sulitnya melakukan maintenance alat konverter. Beberapa kendaraan terpaksa kembali menggunakan BBM, lantaran tidak ada service center konverter kit. Kondisi itu cukup menyulitkan pengemudi.

Ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar gas juga sangat terbatas. Banyak angkutan umum mesti meluangkan waktu, terutama malam hari, untuk mengisi BBG, menghindari kemacetan. Idealnya, kata dia, di Kota Bandung minimal ada empat titik yang mewakili wilayah tengah, timur, barat, dan selatan.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Barat Sony Sulaksono Wibowo mengatakan, program konversi BBM ke BBG yang gencar digaungkan dua tiga tahun lalu sebenarnya memberi angin segar bagi pelaku transportasi di Indonesia. Bahkan, di Bandung, beberapa koperasi angkutan bersedia memasang alat konverter di kendaraannya.

"Ada beberapa angkutan umum waktu itu bersedia menguji coba kendaraannya dipasang konverter kit. Bahkan beberapa koperasi angkutan umum di Bandung bersedia mengkonversi semua mobilnya beralih menggunakan BBG. Artinya, keinginan masyarakat beralih ke gas saat itu sangat tinggi," kata Sony.

Padahal, saat itu beberapa kalangan masih gamang akan program tersebut. Mereka tarik ulur, soal mengkonversi terlebih dahulu kendaraannya atau mesti menunggu ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) memadai. Sebagian bilang, bersedia dipasang konverter jika SPBG ada di semua wilayah.

Kendati penyedia transportasi umum menyambut baik konversi BBM ke BBG, namun program itu kian meredup, tak tampak lagi gaungnya. Padahal dari sisi efisiensi, biaya belanja bahan bakar lebih hemat.

"Tapi kenapa program itu seolah berhenti. Apakah karena soal konverter atau apa, saya kurang tahu pasti," ujar dia.

Menurut Sony, jika program itu meredup karena persoalan konverter yang belum memenuhi standar mutu, semestinya ada jalan keluar. Karena pada dasarnya, kendaraan di Indonesia telah memiliki teknologi yang support terhadap konversi BBM ke BBG. Pada sistem pembakaran mesin, bensin dan gas sama-sama menggunakan uap untuk menghasilkan tenaga.

Menurut dia, program konversi BBM ke BBG adalah terobosan cemerlang bagi Indonesia. Apalagi, potensi panas bumi di Tanah Air ini sangat besar. Baginya, yang perlu dilakukan saat ini adalah keseriusan pemerintah menggalakkan konversi ini.

Pilihannya, kata dia, tetap berpangku tangan mengimpor BBM, atau memanfaatkan potensi alam Indonesia, mengkonversi moda transportasi umum menggunakan gas.
(abs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.5041 seconds (0.1#10.140)