Sengketa Lahan, Komunitas Akur Sunda Wiwitan Cigugur Mengadu ke DPR

Rabu, 27 November 2019 - 16:46 WIB
Sengketa Lahan, Komunitas Akur Sunda Wiwitan Cigugur Mengadu ke DPR
Komunitas Akur Sunda Wiwitan Cigugur berdialog dengan Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi. Foto/SINDOnews/Abdul Rochim
A A A
JAKARTA - Komunitas Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Cigugur menyambangi Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta untuk mengadukan permasalahan sengketa lahan adat di Kampung Adat Cigugur, Kabupaten Kuningan.

Sengketa lahan ini sudah terjadi sejak 2008, namun hingga kini statusnya menggantung. Karena ingin mendapatkan kejelasan status, sejumlah tokoh adat dari Komunitas Akur Sunda Wiwitan Cigugur menemui Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi.

Pendamping Komunitas Akur Sunda Wiwitan Dewi Kanti mengatakan, kehadiran mereka ke Senayan bukan hanya hendak memaparkan tentang permasalahan di Cigugur. Lebih penting dari itu, ada permasalahan kompleks yang menghantui masyarakat adat se-Indonesia dan harus dilindungi oleh negara. Regulasi tentang perlindungan masyarakat adat dinilai mendesak.

”Kami melihat bahwa negara belum menyediakan ruang hukum yang memadai untuk memahami persoalan masyarakat adat. Maka dari itu, payung hukum untuk masyarakat adat harus segera diundang-undangan karena ini sudah terlalu lama ditunda,” kata Dewi di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (27/11/2019)

Problem menahun yang terjadi di Cigugur adalah salah satu cermin dari ketiadaan pengakuan dan perlindungan negara pada masyarakat adat. Secara garis besar, sengketa ini adalah silang pendapat terkait kepemilikan tanah adat yang diklaim sebagai tanah pribadi.

Namun, manuskrip kuno yang diwarisi masyarakat adat Sunda Wiwitan di Cigugur dari leluhurnya dan menyatakan status tanah adat tak pernah dianggap bukti otentik oleh persidangan.

”Tanah adat ini digiring sebagai tanah waris. Ini kan mengingkari wasiat leluhur kami yang sudah tertuang dalam manuskrip yang otentik, ditulis oleh sesepuh adat kami dan itu kami sampaikan di persidangan tapi negara tidak melihat bukti otentik milik masyarakat adat,” ujar dia.

Terkait keluhan tersebut, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Fraksi Golkar, Dedi Mulyadi menyebutkan pentingnya penetapan hutan adat sebagai tempat tinggal masyarakat adat. Menurut mantan bupati Purwakarta itu, masyarakat adat selama ini menyakralkan alam tempat tinggal mereka.

Dengan pelibatan masyarakat adat, negara tidak perlu menyiapkan anggran besar untuk menggaji petugas penjaga hutan yang pada praktiknya belum tentu efektif. Oleh karena itu, Dedi sepakat kalau UU yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sudah harus disahkan.

”Penetapan hutan adat itu adalah keharusan. Kalau harus SK bupati di-SK-kan. Kalau pun harus iuran, saya juga siap untuk bayar, tapi yang jelas subastansinya adalah bagaimana hutan ini lebih ekfektif saat dijaga oleh masyarakat lewat adat,” kata Dedi.

Sayangnya, komunitas masyarakat yang menjaga alam Indonesia tanpa biaya ini masih sering diganggu keberadaannya. Oleh karena itu, perhatian negara atas keberadaan masyarakat adat perlu dikuatkan lewat regulasi.

Masyarakat adat berperan penting tak hanya menjadi agen konservasi tetapi benteng pertahanan negara. Tak heran ketika pengelola negara masih gagal memahami pengelolaan adat maka permasalahan bangsa lah yang akan dituai.

”Jangan sampai teriak Pancasila, tapi lupa untuk mengapresiasi mereka yang benar-benar mengamalkan Pancasila. Merekalah yang selama ini melakukan konservasi,” pungkas dedi.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.0656 seconds (0.1#10.140)