Agar Tak Merugikan Anak, Wartawan Harus Paham UU SPPA dan PPRA

Selasa, 26 November 2019 - 23:10 WIB
Agar Tak Merugikan Anak, Wartawan Harus Paham UU SPPA dan PPRA
Diskusi panel yang diselenggarakan PWI KBB mengangkat tema pedoman pemberitaan ramah anak yang belum banyak diketahui publik termasuk jurnalis, Selasa (26/11/2019). Foto/SINDOnews/Adi Haryanto
A A A
BANDUNG BARAT - Wartawan dituntut untuk memahami dan mengetahui UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA).

Hal ini agar output pemberitaan yang dihasilkan di media massa sesuai aturan dan kaidah yang berlaku serta tidak merugikan korban (anak) maupun wartawan.

"Kami ingin wartawan lebih memahami aturan dalam UU 11/2012 tentang SPPA yang berkaitan dengan PPRA. Kenapa? Sebab dua aturan tersebut belum banyak diketahui oleh unsur pers, masyarakat, maupun stakeholder terkait," kata Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Bandung Barat (KBB) Heni Suhaeni seusai diskusi panel di Aula HBS, Cimareme, KBB, Selasa (26/11/2019).

Acara ini dihadiri Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna, dan diikuti peserta dari unsur media massa, pemerintah daerah, dan stakeholder terkait.

Seperti Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A); Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A); dan Dinas Pendidikan KBB.

Diskusi tersebut mengangkat tema "Membangun Sinergitas PWI KBB dan Pemda KBB dalam Menjaga Hak Anak dari Labelisasi Negatif."

Heni mengatakan, tema soal perlindungan anak dipilih karena isu tersebut sedang bagus. UU SPPA juga harus disampaikan dan diketahui sebab berkaitan dengan PPRA.

Terlebih dua aturan tersebut belum banyak diketahui termasuk oleh jurnalis yang banyak bersentuhan dengan pemberitaan soal anak. Dia mencontohkan, banyak kasus ketika korban atau pelaku yang masih anak-anak mendapat persoalan dan dirugikan oleh pemberitaan.

Biasanya, mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat. "Dalam diskusi ini kami berikan pemahaman dan pencerahan soal pemberitaan anak. Apalagi KBB termasuk daerah layak anak, jadi peran media terkait dalam penyebaran informasi sangat penting," ujar Heni.

Ketua Bidang Advokasi PWI Jabar Agus Dinar mengungkapkan, hadirnya PPRA lahir karena UU SPPA dan mutlak untuk melindungi anak yang berhadapan dengan hukum agar tidak memiliki labelisasi yang terstigma.

Artinya, semua pemberitaan sebagai partisipasi dunia pers terhadap perlindungan anak harus ditutup, sesuai pedoman penulisan ramah anak yang dikeluarkan Dewan Pers.

Terkait aturan yang tertuang dalam PPRA, lanjut Agus, bahwa seluruh anak-anak hingga batas usia 18 tahun yang berhadapan dengan hukum, baik korban, saksi, dan pelaku harus ditutup identitasnya. Baik itu nama, alamat rumah, saudara kandung, orang tua kandung, tetangga dan sekolahnya dan beberapa identitas lainnya.

"Penulisan dalam pemberitaan terkait anak yang tersangkut hukum, cukup dengan nama samaran. Itu untuk memberikan perlindungan awal karena kalau ditulis inisial orang masih bisa menduga-duga. Perlindungan ini diberikan untuk melindungi atau menjaga hal-hal yang traumatik bagi anak di masa yang akan datang," tutur Agus.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.4482 seconds (0.1#10.140)