Surat Edaran Gubernur Jabar Soal UMK Buka Babak Baru Hubungan Industrial

Selasa, 26 November 2019 - 11:40 WIB
Surat Edaran Gubernur Jabar Soal UMK Buka Babak Baru Hubungan Industrial
Pakar perburuhan yang juga mantan hakim PHI Saut Kristianus Manalu (berbatik kuning) menilai SE Gubernur Jabar soal UMK 2020 membuka babak baru hubungan industrial. Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Surat Edaran (SE) Gubernur Jawa Barat Nomor 561/75/Yanbangsos tentang Pelaksanaan Upah Minimum Kabupaten Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2020 dinilai sebagai babak baru hubungan industrial di Jabar.

SE Gubernur Jabar yang belakangan menuai protes dari serikat pekerja tersebut justru dinilai menjadi penyelamat dari sistem pengupahan yang selama ini kerap memicu kisruh dan berakhir pada aksi demonstrasi buruh di setiap penghujung tahun.

SE Gubernur Jabar tersebut juga dinilai akan membuat sistem pengubahan di Jabar lebih fair karena menekankan perundingan antara perusahaan sebagai pemberi kerja dan buruh (pekerja) sebagai penerima upah. Terbitnya SE Gubernur Jabar yang ditandatangani Gubernur Jabar Ridwan Kamil 21 November 2019 itu diharapkan menjadi titik tolak dalam membangun produktivitas dan kesejahteraan yang lebih tinggi.

"SE menyelamatkan kekisruhan pengaturan upah," tegas pakar perburuhan Saut Kristianus Manalu dalam diskusi soal sistem pengupahan Jabar di kawasan Jalan Dayang Sumbi, Kota Bandung, Senin 25 November 2018 malam.

Menurut Saut, kebijakan Gubernur Jabar tersebut merupakan tindakan paling fair dalam sistem pengupahan, khususnya di Jabar. Kebijakan tersebut juga dinilai menjadi momentum bagi pengusaha dan pekerjanya untuk saling terbuka soal upah. Terlebih, perundingan yang ditekankan dalam SE Gubernur Jabar tersebut merupakan hak yang dimiliki setiap pengusaha dan pekerjanya. "SE ini membuka babak baru hubungan industrial di Indonesia," tegas mantan hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) itu.

Saut menilai, SE Gubernur Jabar soal pelaksanaan UMK di Jabar itu pun sudah tepat dan sesuai dengan kontruksi hukum. Selain itu, SE Gubernur Jabar tersebut juga sejalan dengan spirit hubungan industrial karena menekankan perundingan di antara pengusaha dan pekerjanya. "Spirit hubungan industrial itu perundingan," ujarnya.

Menurut Saut, Gubernur sendiri hanya berkewajiban untuk menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dan hal itu sudah dilakukan oleh Gubernur Jabar. Sedangkan dalam penetapan UMK, sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 78 Tahun 2015, Gubernur tidak melanggar jika tidak menerbitkan SK soal UMK.

Menurut Saut, SE Gubernur Jabar yang isinya juga menyatakan UMK 2020 tidak boleh lebih rendah dibandingkan UMK 2019 sebagai langkah tepat. Demikian juga dengan penyerahan mekanisme pengupahan berdasarkan perundingan dalam skala lokal.

"Itu sudah tepat menyerahkan pada pekerja dan pengusaha. Kalau sudah melewati batas upah minimum, ya itu idealnya dirundingkan. Setiap perusahaan itu memiliki kondisi kemampuan yang berbeda tingkat produktivitas pekerja yang berbeda," jelasnya seraya menambahkan, penekanan tersebut menghilangkan kekhawatiran terkait penurunan upah.

Saut juga menilai, kebijakan UMP yang sudah berjalan cukup efektif dapat menekan peluang disparitas upah. Selain itu, dengan penekanan perundingan bipartit, maka pemerintah daerah tinggal memastikan perundingan bisa berjalan dengan baik. "Adanya struktur dan skala upah ini bisa menjadi acuan dan transparansi yang membuat pekerja nyaman, pemerintah tetap mengawasi dengan fair, dan kemampuan dari perusahaan pun tetap diperhatikan," tandasnya.
(Baca juga: FSP-KEP Tolak Surat Edaran Pelaksanaan Upah Minimum di Jawa Barat ).

Pengurus Pusat Studi Pengembangan Bisnis dan Kelembagaan Universitas Padjadjaran (Unpad) Muhamad Rizal pun menilai bahwa SE Gubernur Jabar soal UMK 2020 itu sebagai sebuah terobosan dalam sistem pengupahan.

"Surat edaran ini juga menjamin kenaikan upah, namun terkait besaran kenaikan, hal itu menjadi bahan perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerjanya. Soal berapa naiknya, bebas, tergantung dari hasil perundingan antara pengusaha dan pekerjanya," katanya.

Sementara itu, pengusaha garmen di Purwakarta David Hong mengungkapkan, SE Gubernur Jabar soal UMK 2020 menjadi angin segar. Bukan hanya bagi dirinya sebagai pengusaha, namun juga bagi sekitar 8.000 pekerjanya.

Pasalnya, kata David, jika pengupahan harus mengacu pada UMK, dia khawatir perusahaannya akan dukung tikar dan para pekerjanya kehilangan mata pencaharian.

"Jika kami tutup (pabrik), maka 8.000 kerja kami terancam berhenti bekerja. Selama ini, upah rata-rata pekerja kami Rp4 juta per bulan. Dengan besaran upah yang nantinya bisa dirundingkan, namun tetap mengacu pada surat edaran ini, mungkin perusahaan kami masih bisa bertahan, dan pekerja pun tetap memiliki penghasilan," katanya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 4.8255 seconds (0.1#10.140)