Indonesia Belum Bisa Dipastikan Kapan Terbebas dari Radikalisme-Terorisme

Jum'at, 22 November 2019 - 17:43 WIB
Indonesia Belum Bisa Dipastikan Kapan Terbebas dari Radikalisme-Terorisme
FAPII menggelar Simposium Peta Radikalisme dan Strategi Deradikalisasi Kontemporer sebagai upaya membasmi paham radikal dan teror di Indonesia. Foto/SINDOnews/Agung Bakti Sarasa
A A A
BANDUNG - Paham radikalis yang berujung pada aksi teror yang terus terjadi di Indonesia dinilai menjadi bukti masih kuatnya dinamika radikalisme dan terorisme di Tanah Air. Akibatnya, Indonesia pun belum dapat dipastikan kapan bisa terbebas dari paham dan aksi tersebut.

Hal itu mengemuka dalam simposium "Peta Radikalisme dan Strategi Deradikalisasi Kontemporer" yang merupakan rangkaian kegiatan Simposium Nasional dan Deklarasi Forum Alumni Pelajar Islam Indonesia (FPII) di Hotel Aryaduta, Jalan Sumatera, Kota Bandung sejak Rabu-Jumat, 20-22 November 2019.

"Memprediksinya (Indonesia terbebas dari radikalisme dan terorisme) harus matang. Diprediksi bisa, tapi butuh cukup waktu karena dinamikanya berubah-ubah," kata Asisten Deputi Penanganan Konflik Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Brigjen Pol Erwin Chahara Rusmana, salah satu narasumber dalam simposium tersebut.

Erwin mengemukakan, selain kuatnya dinamika di lapangan, sebagai kemenko yang membawahi 13 kementerian, pihaknya tidak terjun langsung dalam tataran teknis penuntasan persoalan radikalisme dan terorisme. Karenanya, Kemenkopolhukam menargetkan, secepatnya Indonesia terbebas dari persoalan radikalisme dan terorisme.

"Bagaimana targetnya, ingin secepatnya. Tapi dinamika di lapangan akan bisa mempengaruhi, baik dari sisi global, regional, maupun lokal. Seperti contoh, radikalisme itu ada suatu organisasi internasional, menggunakan kekuatan media, medsos (media sosial). Mereka membuat kelompok-kelompok kecil, sehingga sulit dideteksi sampai jaringan atasnya," ujar dia.

Menurut Erwin, dengan dinamika yang tinggi, dibutuhkan pemetaan (mapping), penelusuran, peningkatan kemampuan aparatur, hingga dukungan anggaran. Selain itu, upaya deradikalisasi juga harus terus dilakukan dengan cara menyentuh semua kalangan lewat komunikasi intens bersama seluruh pemangku kepentingan dan elemen masyarakat.

"Upaya deradikalisasi juga harus didukung kekuatan-kekuatan daerah, yaitu desa Bhabinkamtibmas (Bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat), Babinsa (Bintara pembina desa) yang monitor, dipadukan dengan intelijen dari Polres, Kodim, Kodam, Polda, atau pusat (Mabes Polri dan TNI), agar bersinergi, membuat komunikasi bagus untuk mengantisipasi oknum yang mempengaruhi masyarakat," tutur Erwin.

Erwin mengungkapkan, berdasarkan kajian Kemenkopolhukam, radikalisme yang berujung pada tindakan teror tak lepas dari misi politik para pelakunya. Selain itu, aksi teror juga bisa disebabkan oleh dangkalnya pemahaman terhadap agama hingga kesalahan dalam mendapatkan pemahaman agama.

"Jadi, misi mereka itu politik. Politik yang memanfaatkan perbedaan penafsiran agama. Biasanya yang menjadi operator radikal, pemahamannya masih baru atau salah guru. Seperti ada salah satu teroris yang tertangkap, dia sangat cerdas, tapi pemahaman agamanya mungkin salah belajar. Kemudian ada jaringan tertentu untuk mempengaruhi tumbuhnya radikalisme," ungkap Erwin.

Narasumber lain, Kasubdit Keamanan Khusus Mabes Polri Kombes Pol Ratno Kuncoro mengatakan, berdasarkan kajian, kelompok-kelompok teroris di Indonesia terdiri dari beberapa sel kecil yang tidak terhubung satu sama lain dan menggunakan teknik algoritma untuk menghindari penangkapan.

"Karenanya, kami dari Polri sangat berharap ada bantuan dari masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan di tingkat lingkungan," kata Ratno.

Dia menyatakan, radikalisme dan terorisme merupakan tindakan melanggar hukum, baik agama maupun negara, serta azas kemanusiaan. Selain itu, tidak ada satu pun agama yang membenarkan aksi kekerasan terhadap siapapun, baik yang seagama maupun beda agama.

"Kami tidak melihat agamanya, tapi kami lihat pelanggaran hukumnya. Kami minta penguatan lembaga negara untuk mencegah virus-virus merusak, yang bisa membuat sebagian warga melakukan tindakan yang sebenarnya tidak masuk akal itu," tandas dia.

Sementara itu, pendiri FAPII Fami Fachrudin mengemukakan, FAPII sebagai organisasi Islam garis tengah menyadari bahwa di Indonesia masih banyak pihak yang memahami Islam secara ekstrem. Bahkan, dia tak menampik banyak alumni PII yang berpahaman ekstrem. "FAPII ini kan Islam garis tengah. Jadi hal-hal ekstrem, kita coba hadapi karena itulah bibit radikalisme dan terorisme," ujar Fami.

FAPII, tutur dia, sengaja menggelar simposium bertema "Peta Radikalisme dan Strategi Deradikalisasi Kontemporer" sebagai bentuk keprihatinan terhadap masih tumbuh suburnya radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Selain itu, melalui simposium ini, FAPII pihaknya pun berharap, hadir sebuah pola penanganan radikalisme dan terorisme dengan melibatkan elemen masyarakat.

"Makanya, kami hadirkan pihak-pihak berwenang yang menangani terorisme dam radikalisme dalam konteks apa yang bisa kami kerjasamakan ke depan, agar antara pemerintah dan eksponen masyarakat bisa bekerja sama bahu membahu menghadapi masalah itu," pungkas dia.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.0621 seconds (0.1#10.140)