Wacana Mendagri Akan Mengevaluasi Pilkada Harus Disikapi Bijak

BANDUNG - Direktur The Jakarta Institute (TJI) Reza Fahlevi mengapresiasi keberanian Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang melempar wacana akan mengevaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung.

Levi mendukung Mendagri yang menyebut pilkada langsung sebagai akar masalah dari banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi karena ongkos politik untuk mencalonkan diri menjadibupati, wali kota, atau gubernur, sangat mahal.

"Sudah tidak bisa kita pungkiri bahwa pilkada langsung memiliki sejumlah kekurangan. Sistem politik yang ada membuat putra daerah dengan gagasan hebat namun tidak kuat modal untuk logistik kampanye harus bisa menerima kenyataan, mengubur impiannya berkontribusi membangun daerah dengan menjadi wali kota, bupati atau gubernur," tutur Levi dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Kamis (21/11/2019).

Karena itu, aktivis yang pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu menghimbau kepada seluruh pihak yang merasa terganggu dengan gagasan Mendagri yang tentu atas sepengetahuan Presiden itu untuk berdialektika secara akademis, seperti yang disampaikan Mendagri yang akan melakukan riset dan membuka forum secara terbuka untuk berdialog.

Levi melanjutkan, kekurangan lain dari pilkada langsung, yakni para calon kepala daerah juga harus memiliki modal yang cukup besar karena diharuskan berkampanye secara fisik dari pintu ke pintu (door to door) dan rawan disusupi kepentingan pemodal.

"Selain itu, pemilih akan menjadi individualis dan materialistis. Calon kepala daerah hanya mengandalkan ketokohan dan menafikan kemampuan memimpin organisasi yang kelak dibutuhkan saat terpilih menjadi kepala daerah," ujar dia.

Levi mengingatkan, pilkada langsung berpotensi memunculkan konflik horisontal dan vertikal antarbasis pendukung calon. Terlebih, apabila pemahaman politik rakyat di suatu daerah belum cukup matang.

Penyelenggaran pilkada langsung, tutur Levi, juga kerap diwarnai penyelewengan APBD, baik dari anggaran bantuan sosial maupun pos anggaran lain oleh calon petahana untuk meraih sukses saat kembali bertarung di pilkada.

"Tak jarang daerah abai dalam mempersiapkan kebutuhan anggaran pilkada, sehingga membuat daerah kebingungan saat menjelang dimulainya tahapan pelaksanaan pilkada," tutur Levi.

Karena itu, Levi berharap, wacana Mendagri untuk mengevaluasi pilkada tidak ditanggapi secara nyinyir tanpa argumentasi yang jelas atau sekadar emosi karena menganggap mengusik pilkada yang merupakan produk demokrasi serta melabelkan orang yang anti-pilkada berarti musuh demokrasi dan bagian dari Orde Baru.

"Memang benar dengan pilkada langsung, partisipasi demokrasi menjadi lebih baik ketimbang dipilih DPRD yang sarat praktik oligarki dan seperti membeli kucing dalam karung. Toh evaluasi Mendagri terhadap Pilkada bukan juga meminta untuk kepala daerah kembali dipilih DPRD," ungkap dia.

Levi menuturkan, Mendagri hanya menawarkan pilkada untuk dievaluasi. Jika memang pilkada dirasa lebih berfaedah sebagai sebuah sistem pemilu untuk memilih pemimpin di daerah dengan memperbaiki berbagai kekurangannya, Mendagri pun tidak keberatan.

"Namun kalau pilkada dirasa lebih banyak mudharatnya, ya kita sebagai sebuah bangsa tentu harus berbenah dengan mengubahnya menjadi sebuah sistem yang lebih baik. Kalau begitu, apapun metodenya, mari bersama kita cari formula terbaik agar kepala daerah tidak ada lagi yang terjerat korupsi karena harus balik modal," pungkas Levi.