Buruh di KBB juga Tolak Penetapan UMK Berdasarkan PP 78/2015

Sabtu, 09 November 2019 - 18:48 WIB
Buruh di KBB juga Tolak Penetapan UMK Berdasarkan PP 78/2015
Buruh di KBB unjuk rasa di gedung DPRD KBB beberapa waktu lalu. Terkait penetapan UMK 2020, buruh di KBB menolak acuan PP 78/2015. Foto/Dok/SINDOnews
A A A
BANDUNG BARAT - Elemen buruh di Kabupaten Bandung Barat (KBB) juga menolak jika penentuan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2020 di KBB berdasarkan PP 78/2015 tentang Pengupahan.

Pasalnya jika kenaikan UMK mengacu kepada PP tersebut, nilai UMK di KBB akan semakin jauh di bawah kabupaten/kota tetangga, yang saat ini rata-rata sudah di atas KBB.

"Ketika UMK KBB besarnya Rp2,8 juta, daerah tetangga seperti Kabupaten Purwakarta dan Kota Bandung angkanya sudah di atas Rp3 juta. Makanya kalau penentuan UMK KBB 2020 kembali memakai patokan PP 78/2015 ya jelas KBB akan semakin tertinggal jauh," terang Sekretaris KC Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Dede Rahmat kepada SINDOnews, Sabtu (9/11/2019).

Menurut dia, jika mengacu PP 78/2015, kenaikan UMK KBB tahun depan diprediksi hanya 8,51% atau sebesar Rp246.683,25. Itu berarti UMK tahun ini Rp2.898.745.63 akan naik menjadi Rp3.145.428.88 tahun depan.

Padahal buruh berharap kenaikannya bisa lebih dari 12% atau dikisaran Rp3,4 juta. Sebab angka itu mengacu kepada inflasi tahun depan dan hasil survei pasar.

Lebih jauh dikatakannya, PP 78/2015 justru membatasi hak berunding serikat pekerja. Termasuk menggeser peran dari dewan pengupahan dalam melakukan survei pasar, karena kenaikan UMK langsung ditentukan oleh pusat.

Oleh sebab itu serikat pekerja/serikat buruh di KBB akan menolak jika penentuan kenaikan UMK tidak melalui survei pasar yang dilakukan Dewan Pengupahan sesuai UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sebab upah minimum ditentukan berdasarkan KHL yang ditentukan melalui survei pasar, inflasi, dan PDRB daerah. "KHL (Kebutuhan Hidup Layak) ditentukan lewat survei pasar oleh dewan pengupahan. Komponen yang disurvei diatur dalam Kepmenaker Nomor 13/2012 dimana ada sekitar 60 komponen yang harus disurvei," ujar dia.

Dede menuturkan, sejak 2015, penentuan UMK di KBB tidak pernah mengacu kepada PP 78/2015. Tetapi bupati selalu meminta pendapat dari serikat pekerja/serikat buruh dan juga kalangan pengusaha dengan menjalin komunikasi lewat Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit.

Makanya UMK di KBB selalu memunculkan dua angka, yakni versi dari buruh dan juga versi appindo. Namun memang sampai sekarang bupati belum menetapkan waktu pertemuan dengan LKS Tripartit untuk membahas UMK, padahal paling lambat rekomendasinya tanggal 20 November 2019 sudah harus diserahkan ke provinsi.

"Untuk pembahasan LKS Tripartit dengan bupati belum ada, dan kami (buruh) justru menunggu. Kami menginginkan angka kenaikan UMK bisa 15%, walaupun biasanya untuk di KBB karena ada dua versi angka usulan buruh dan appindo, bupati mengambil diskresi dalam mengambil jalur tengahnya," tutur Dede.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.0158 seconds (0.1#10.140)