Jelang Musim Hujan, Petani Majalengka Lakukan Ritual Ini

Rabu, 06 November 2019 - 14:40 WIB
Jelang Musim Hujan, Petani Majalengka Lakukan Ritual Ini
Kades Pilangsari Didi Tarmadi menyiramkan air dan mencangkul pada ritual Guar Bumi. Foto/SINDOnews/Inin Nastain
A A A
MAJALENGKA - Menjelang datangnya musim hujan, sejumlah ritual dilakukan oleh masyarakat petani. Hal itu lantaran kedatangan musim hujan artinya musim tanam segera tiba.

Setidaknya, ada empat ritual yang dilalui masyarakat petani selama musim tanam, dari mulai pra hingga masuk masa panen. Guar Bumi adalah 'tahapan' pertama yang dilalui petani dalam menjalankan aktivitasnya mengolah lahan pertanian mereka.

Tahapan pertama jelang masa tanam ini biasa dilakukan di lahan sawah warga setempat. Di tempat ini, masyarakat petani dari satu desa berkumpul untuk melakukan doa bersama dipimpin tokoh masyarakat setempat. Seusai doa bersama, mereka lalu menikmati makan, dari makanan yang dibawa setiap warga ke tempat itu.

Selain doa, ada sebagian desa yang melakukan beberapa simbolisasi tentang bercocok tanam. Hal itu seperti dilakukan masyarakat di Desa Pilangsari, Kecamatan Jatitujuh, Rabu (6/11/2019).

Di desa ini, seusai doa bersama, sejumlah tokoh melakukan peragaan mencangkul tanah yang sudah basah, sebagai simbol permulaan menanam. Tanah yang dicangkul sebelumnya disiram air yang sudah dicampur kembang.

"Tanah itu kehidupan, air itu kesejahteraan, dan kembang adalah keindahan. Dalam hidup itu harus ada kesejahteraan dan keindahan," kata Kades Pilangsari Didi Tarmadi kepada SINDOnews.

Seusai melakukan pencangkulan tanah basah, dilanjutkan dengan memukul kohkol sebanyak tiga kali. Jumlah pukulan tersebut pun memiliki makna tersendiri. "Tadi memukulnya itu tiga kali. Ini mengandung arti hidup itu harus silih asah, asih, asuh," jelas dia.

Guar Bumi bukan satu-satunya tahapan yang dilakukan sebelum menanam. Beberapa hari ke depan, masih ada satu tahapan lagi yakni Munjung. Berbeda dengan Guar Bumi yang dilaksanakan di lahan sawah, Munjung biasanya dilakukan di areal pemakaman.

"Di dalamnya ya sama, ada doa dan makan juga. Makan bersama adalah simbol persaudaraan. Untuk makanan, pada Munjung nanti yang bawa itu dari perangkat desa. Kalau Guar Bumi, makanan dari masing-masing warga ," papar Didi.

Ritual kembali digelar saat usia padi di masa pertengahan, antara masa tanam dengan masa panen. Mapag Tamba, demikian nama ritual ketiga yang dilaksanakan masyarakat petani itu.

"(Mapag Tamba) untuk mengetahui perkembangan tanaman padi, apakah ada penyakit atau tidak. Dari sana, nanti ketahuan apa yang harus dilakukan. Terakhir, Mapag Sri. Ini digelar sebagai bentuk syukuran saat masuk masa panen. Yang jelas, dari mulai Guar Bumi sampai Mapag Sri, ada doa bersama," jelas Didi.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2871 seconds (0.1#10.140)