Pakar HTN: Urgent, Jokowi Harus Segera Bentuk Lembaga Legislasi Nasional

Sabtu, 26 Oktober 2019 - 17:32 WIB
Pakar HTN: Urgent, Jokowi Harus Segera Bentuk Lembaga Legislasi Nasional
Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid. Foto/Koleksi Pribadi Fahri Bachmid
A A A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Dr Fahri Bachmid SH MH menilai sangat urgent(penting dan mendesak) Presiden Jokowi membentuk kementerian atau Lembaga Urusan Legislasi Nasional.

Menurut Fahri, kementerian atau lembaga tersebut untuk mengurus dan mengelola regulasi, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan peraturan perundang-undangan, pembahasan, pengundangan, penyebarluasan, evaluasi, hingga peninjauan dan rekomendasi perbaikan atau revisi. Sehingga, tidak terjadi tumpah tindih peraturan perundang-undangan secara nasional.

Hal ini, kata Fahri, juga dalam rangka menata dan mengendalikan obesitas serta hiper regulasi yang semakin tidak terkendali dan sangat kompleks.

Kementerian dan lembaga itu juga bertugas melaksanakan program penyederhanaan ribuan peraturan perundang-undangan bersifat teknis yang secara konvensional berdasarkan sistem ketatanegaraan diselesaikan melalui mekanisme peradilan tata negara, seperti, judicial review ke Mahmakah Konstitusi (MK) belum menyelesaikan masalah.

Sebab, kata Fahri, MK tidak mungkin menjangkau berbagai peraturan perundang-udangan sampai pada level paling bawah dan teknis.

”Untuk itu menjadi penting dan urgent untuk membuat terobosan hukum tata negara dengan melahirkan sebuah kementerian atau lembaga khusus yang menagani permasalahan tersebut (legislasi),” kata Fahri Bachmid melalui keterangan persnya, Sabtu (26/10/2019).

Fahri mengemukakan, argumentasi hukum tata negara perihal betapa urgennya pembentukan Kementerian atau Lembaga urusan legislasi nasional tersebut.

Pertama, Kementerian atau lembaga urusan legislasi nasional tersebut idealnya diberikan mendat konstitusional penanganan urusan pembangunan hukum (legislasi) mulai dari hulu sampai ke hilir, yaitu mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, perumusan, harmonisasi, sosialisasi, konsolidasi hingga peninjauan serta revisi terhadap perundang-undangan yang berlaku secara positivistik.

Praktik sama dilakukan oleh beberapa negara, seperti The Office Information and Regulatory Affairs (OIRA) di Amerika Serikat; The Office of Best Practice Regulation (OBPR) di Inggris; Cabinet Legislation Bureau (CLB) di Jepang; Ministry of Government Legislation (MoLeg) Korea Selatan,dan The Office of Best Practice Regulation di Australia.

"Gagasan pembentukan lembaga legislasi ini pada 2012 pernah direkomendasikan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sepanjang berkaitan dengan pembenahan komprehensif peta regulasi di Indonesia. Artinya atensi dan gagasan pembenahan problem regulasi secara hukum telah didebatkan sejak lama,” ujar Fahri.

Kedua, tutur dia, problem hukum inkonsistensi dan disharmoni peraturan perundang-undangan bukan saja dalam konteks materil (substansi materi hukum) yang sangat “complicated” semata.

Tetapi, dari aspek birokrasi pembentukan perundang-undangan telah menjadi masalah tersendiri. Seperti banyaknya pintu, yaitu melalui Kemenkum HAM, Mensesneg, Seskab, dan juga DPR melalui Baleg dan sebagainya.

Semuanya berurusan dengan Legislasi sehingga secara teknis ketatanegaraan, sangat sulit untuk dapat mengendalikan obesitas dan hiper regulasi secara sistemik sesuai logika dan ilmu perundang undangan.

”Karena setiap lembaga berlomba membentuk perundang-undangan, seolah setiap persoalan bangsa hanya dapat diatasi dengan memproduksi UU, tanpa melihat hasil guna dan berdaya guna. Ini yang menjadi masalah,” tutur dia.

Ketiga, jika kementerian atau lembaga urusan legislasi nasional ini terbentuk nantinya diharapkan akan menjadi leading sector terhadap semua Kementerian dan Lembaga negara terkait yang berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Pada saat yang sama maka presiden dapat membubarkan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada Kemenkum HAM.

”Biar semua lembaga-lembaga itu dilikuidasi saja dan dikonsolidasikan ulang ke dalam kementerian atau lembaga urusan legislasi nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden," ungkap Fahri.

"Sebab secara teknis selama ini Kemenkum HAM hanya memiliki satu direktorat yang mengurus seluruh peraturan perundang-undangan. Secara teoritik sangat mustahil dapat menyelesaikan beban berat mengurus dan menata aspek regulasi secara nasional yang sejalan dengan visi pembangunan hukum kita,” tandas dia.

Keempat, tugas pokok lain dari kementerian atua lembaga legislasi nasional termasuk mengkosolidasi berbagai informasi maupun data kebutuhan serta akan berlakunya norma suatu perundang-undangan, agar memudahkan aspek evaluasi dari keberlakuan norma hukum tersebut, termasuk diberikan kewenangan untuk mengajukan usul perubahan serta pencabutan UU tertentu, serta rekomendasi pengubahan draft peraturan perundang-undangan.

”Kementerian ini juga diperlengkapi dengan bidang riset, monitoring serta evaluasi terhadap seluruh jenis peraturan perundang-undangan yang berbasis IT,artinya ada semacam audit norma hukum yang berlaku,dan ada metode mitigasi terhadap keberlakuan norma tertentu ditengah masyarakat,apakah efektif,?bermanfaat atau terjadi konflik norma (contra legem),?,mulai dari level UU sampai dengan Perda. Semua harus dapat diaudit secara sistemik," ungkap Fahri.

Kelima, untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan negara di bidang pembentukan regulasi dalam rangka melaksanakan pembangunan hukum nasional yang terencana, terpadu dan berkelanjutan yang mencerminkan kedaulatan rakyat dan menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat berdasarkan UUD 1945, serta untuk memperkuat pembentukan peraturan perundang undangan yang berkelanjutan, maka sangat dibutuhkan suatu penataan dan perbaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sejak perencanaan hingga pemantauan dan peninjauan.

”Hal tersebut telah dapat kami lihat dengan telah diundangkannya UU RI Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan. Yang mana telah secara tegas diperintahkan untuk membentuk suatu kementerian khusus urusan legislasi," kata Fahri.

"Hal ini dapat disimak pada ketentuan norma Pasal 99A UU Nomor 15/2019. Dengan demikian maka menjadi penting dan urgent untuk mempersiapkan pembentukan Kementerian khusus urusan legislasi Nasional, agar berbagai broblem ketatanegaraan kontemporer dapat segera diatasi,” sepanjang menyangkut dengan penataan norma hukum," ujar dia.

Keenam, sebagai konsekwensi ketatanegaraan jika Presiden segera membentuk lemeterian khusus legislasi nasional sesuai perintah UU Nomor 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, maka pemerintah dan DPR segera mengagendakan melakukan revisi atas UU RI Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, khususnya termasuk ketentuan Pasal 5 ayat (4) mengenai uraian tentang urusan pemerintahan negara, agar ditambah termasuk meliputi urusan legislasi nesional, serta {asal 15 yang menyebutkan bahwa “Jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, pasal 13, dan pasal 14 paling banyak 34 (tigapuluh empat)".

“Ini harus segera direvisi untuk menambah satu kemeterian khusus urusan legislasi nasional, dan visi presiden Jokowi untuk penataan problem legislasi nasional dapat di realisir secara baik untuk menuju pembangunan hukum yang berkelanjutan yang bersendikan prinsip negara demokrasi konstitusional,” pungkas Fahri.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 7.2425 seconds (0.1#10.140)