Dedi Mulyadi Usulkan Proses Lelang Proyek Milik Pemda Dipangkas

Sabtu, 26 Oktober 2019 - 00:11 WIB
Dedi Mulyadi Usulkan Proses Lelang Proyek Milik Pemda Dipangkas
Anggota DPR RI Dedi Mulyadi. Foto/Dok.Dedi Mulyadi
A A A
BANDUNG - Anggota DPR RI Dedi Mulyadi mengusulkan pemangkasan proses lelang proyek milik pemerintah daerah (pemda) untuk mengatasi persoalan rendahnya serapan anggaran yang kerap dialami pemda.

Usulan tersebut disampaikan Dedi menyusul pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang akan menyisir daerah-daerah yang mengalami penyerapan anggaran rendah.

Dedi memaparkan, rendahnya penyerapan anggaran pada lembaga pemerintahan bisa disebabkan tiga hal. Pertama, ketidaktepatan perencanaan. Kedua, prosedur pengelolaan yang relatif rumit. Ketiga, rasa takut di kalangan penyelenggara negara.

Menurut politisi Partai Golkar itu, rasa takut di kalangan penyelenggara negara terjadi karena belum sinkronnya berbagai institusi negara dalam menyikapi penyerapan anggaran. Untuk mengatasinya, kata Dedi, diperlukan perubahan mekanisme birokrasi, salah satunya penyederhaanaan proses lelang.

Selain penyederhanaan proses lelang, mekanisme pembayaran pun perlu dibenahi. Menurutnya, pembayaran sebaiknya dilakukan setelah semua pekerjaan selesai dan sudah dilakukan audit.

Selama ini, kata Dedi, pembayaran dilakukan secara bertahap dengan sistem termin. Dia menilai, sistem tersebut tidak efektif dan malah membuat birokrasi menjadi semakin rumit. Belum lagi jika ada sisa anggaran yang akan sulit ditagih kepada pihak ketiga atau pemborong.

"Bahkan, terkadang ada pemborong yang bilang lebih baik dipenjara daripada harus mengembalikan uang. Nah, nanti yang repot kepala dinas," jelas mantan Bupati Purwakarta dua periode ini.

Selain itu, sistem yang berlaku saat ini menyebabkan proses audit memakan waktu yang lama, misalnya pekerjaannya selesai bulan Juli, auditnya baru dilakukan Maret atau April tahun berikutnya.

"Pekerjaan yang diaudit pun berupa sampel, tidak menyeluruh sehingga dikhawatirkan baiknya kualitas pekerjaan tidak merata," paparnya.

Menurut Dedi, jika sistem audit dilakukan setelah pekerjaan selesai, maka penyimpangan pengelolaan kegiatan tidak akan pernah ada.

"Kalau akhirnya lelang disederhanakan dan pekerjaan dibayar setelah hasil diaudit, bisa tidur nyenyak," ujarnya.

Dedi juga menekankan, auditor harus bisa mempertanggungjawabkan hasil auditnya. Sebab, sering kali terjadi pekerjaan yang selesai tetap menjadi ranah penyelidikan dan akhirnya tidak ada kepastian hukum.

"Saya juga usulkan proses penyelidikan pada sebuah kasus tindak pidana korupsi dilakukan setelah ditemukan adanya kerugian negara, bukan dibalik. Kerugian negara baru diaudit investigatif setelah panjang dan rumitnya penyelidikan. Itu yang mengakibatkan kelelahan birokrasi," bebernya.

Honor pegawai

Dedi juga menyoroti persoalan honor pegawai. Menurut dia, untuk mencegah kebocoran, Dedi mengusulkan, seiring hilangnya struktur eselon, komponen produksi yang dibayar dalam bentuk honorarium pegawai dilakukan setelah produksi selesai.

"Misalnya, pekerjaan senilai Rp1 miliar dan sudah 100 persen dibayar, itu nanti harus ada komponen dipisah untuk penyelenggara kegiatan. Lalu, diambilah misalnya dua persen dari total pekerjaan untuk honor pegawai," terangnya.

Jika kebijakan tersebut dibuat dan diterapkan, Dedi yakin, para birokrat akan mendapatkan uang legal hasil jerih payahnya bekerja. Selain itu, Dedi pun yakin, anggaran pemerintah bebas dari kebocoran.

Dedi juga berharap, ke depan, Inspektorat tak perlu lagi bertanggung jawab terhadap bupati/wali kota, melainkan bertanggung jawab secara vertikal, baik kepada pemerintah provinsi maupun pusat.

"Atau tempatkan pegawai BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) di daerah," tandasnya.
(abs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.6549 seconds (0.1#10.140)