Sukses Buka Pasar Global, Keberhasilan Enggartiasto Dinilai Harus Dilanjutkan

Jum'at, 25 Oktober 2019 - 18:04 WIB
Sukses Buka Pasar Global, Keberhasilan Enggartiasto Dinilai Harus Dilanjutkan
Enggartiasto Lukita dinilai sukses membuka pasar global dan menjaga stabilitas harga pangan. Foto/SINDOnews
A A A
BANDUNG - Indonesia dinilai sukses membuka pasar global dan mampu menjaga stabilitas harga pangan di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sejumlah pihak menilai, keberhasilan itu tak lepas dari sosok Enggartiasto Lukita yang kurang lebih tiga tahun mengisi posisi Menteri Perdagangan (Mendag) Republik Indonesia (RI) di periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi.

Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran (LETRAA) Yenny Sucipto menilai, Enggar telah membuka pintu pasar internasional lebih baik. Hal ini menaikkan bargaining positition (posisi tawar) Indonesia, baik di tingkat regional maupun internasional.

"Sudah baik dilakukan Menteri Enggar, tinggal analisis kontalasi di tingkat internasional. Harus meningkatkan bargaining. Kita jangan menjadi bagian yang pasif, harus memiliki bargain kuat dalam perdagangan internasional," papar Yenny dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Jumat (25/10/2019).

Yenny melanjutkan, di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia harus tetap memperhatikan daya saing yang hingga saat ini dinilainya masih lemah. Karena bentuk persyaratannya terlalu mudah, grade Indonesia kalah dengan negara lain, seperti perjanjian G to G (government to government) memberikan kebutuhan persyaratan untuk Indonesia.

"Kan beberapa analisis itu kadang enggak perhatikan itu," ujarnya.

Mendag selanjutnya, kata dia, juga harus meniru raihan yang telah dicapai oleh Enggartiasto, seperti menjaga stabilitas harga pangan. Kemudian, jalur perdagangan internasional yang telah dibuka harus terus dijaga kelanjutannya.

"Sebuah keberhasilan yang baru untuk visi Presiden ke depannya, harus dilanjutkan menteri selanjutnya. Sebuah keberhasilan itu harus dipertahankan. Kalau yang baik itu perbaiki, kalau ada yang kurang itu ditambah dan diperbaiki," tuturnya.

Apalagi, lanjutnya, periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi tidak perlu merombak sistem yang sudah ada. Jokowi sendiri sudah menyatakan bahwa semua kementerian atau lembaga tidak perlu memiliki visi misi, melainkan menjalankan misi presiden dan wakilnya.

Pengamat perdagangan international dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal menilai, upaya Enggartiasto yang perlu dilanjutkan tersebut, di antaranya perjanjian dagang international yang dikebut selama Enggartiasto menjabat Mendag RI.

"Tentu perlu dilanjutkan karena untuk meningkatkan ekspor, kita perlu strategi yang lebih ekstensif keluar," katanya.

Dia menjelaskan, untuk mengejar pertumbuhan ekonomi di angka enam persen, maka butuh pertumbuhan ekspor sebesar 9,8 persen per tahun.

"Dalam konteks inilah pentingnya mencari mitra-mitra dagang baru," imbuhnya.

Enggartiasto, kata Fithra, telah mengupayakan perjanjian dagang bilateral maupun regional dengan pihak-pihak potensial, seperti Hongkong, United Kingdom (UK), Australia, termasuk Uni Eropa.

"Ini negosiasi-negosiasi yang krusial, dengan Uni Eropa juga merupakan pasar yang cukup penting," jelasnya.

"Selain dengan mitra dagang tradisional, perjanjian dengan yang non-tradisional juga jelas memiliki potensi signifikan," sambungnya.

Dia menegaskan, Indonesia harus terus aktif mencari pasar-pasar di luar negeri, seperti yang selama ini sudah dilakukan. Namun, dia juga mengingatkan Menteri Perdagangan yang baru, Agus Suparmanto, agar selain terus mencari pasar, juga terus memperbaiki kualitas komoditi ekspor.

Sementara itu, pengamat politik internasional, Arya Sandiyudha mengatakan, pemerintah memiliki sejumlah agenda diplomasi ekonomi, di antaranya commercial diplomacy dan Perdagangan murni, seperti goods, service, tourism, serta multilateral negotiaton, seperti WTO, AFTA, APEC dan sebagainya.

Tidak hanya itu, pemerintah pun memiliki agenda bilateral negotiation terkait merundingkan tarif, beamasuk, kepabean, PTA, rule of origin, local content dan lainnya serta investasi mulai dari FDI sampai portofolio investment, dan technical coperation, termasuk capacity building dan joint project.

"Jadi, apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah di periode pertama perlu dilanjutkan, tentu dengan ditelaah dulu prosesnya sudah sejauh apa? Lalu syarat masing-masing negara seperti apa? Termasuk menginventatisasi keuntungan bagi Indonesia sendiri dari perjanjian dagang internasional itu," paparnya.

Sebelumnya, Enggartiasto menjelaskan, beberapa perjanjian perdagangan internasional yang tengah diupayakan untuk rampung antara lain Indonesia-Uni Eropa Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), Indonesia-Korea CEPA, Indonesia-Turki CEPA, dan Indonesia-Tunisia Preferential Trade Agreement (PTA).

Kemudian, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN-India Free Trade Agreement (FTA), ASEAN-Australia New Zealand FTA, dan Protocol ASEAN on Enhanced Dispute Settlement Mechanism (EDSM).

"Jika kita tidak membuka pasar baru, kita akan kalah dari Vietnam dan negara-negara lain," kata Enggartiaso.

Enggartiasto menyebut, sejak 1990 hingga 2015, Indonesia baru menyepakati 10 perjanjian perdagangan dengan beberapa negara mitra, di antaranya ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-China FTA, dan Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement (IJEPA).

Sementara beberapa perjanjian internasional, di antaranya Indonesia-Chile CEPA, Nota Kesepahaman dengan Palestina, Indonesia-Australia CEPA, Indonesia European Free Trade Agreement (EFTA) CEPA, dan ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA).
(abs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.0167 seconds (0.1#10.140)