Pakar HTN Fahri Bachmid: Omnibus Law Perlu Lembaga Pusat Legislasi Nasional

Kamis, 24 Oktober 2019 - 18:11 WIB
Pakar HTN Fahri Bachmid: Omnibus Law Perlu Lembaga Pusat Legislasi Nasional
Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachamid. Foto/Dokumentasi Pribadi Fahri Bachmid
A A A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya melaksanakan "Omnibus Law” sebagai kunci Indonesia maju. Pernyataan itu disampaikan Jokowi seusai melantik para menteri Kabinet Indonesia Maju, Rabu 23 Oktober 2019.

Konsep "Omnibus Law" itu dua kali disampaikan Jokowi. Sebelumnya, konsep hukum tersebut pertama kali disampaikan dalam pidato sumpah jabatan pada sidang MPR beberapa waktu lalu.

Pakar Hukum Tata Negara Dr Fahri Bachmid SH MH mengatakan, di dalam dunia ilmu hukum, konsep “Omnibus Law” atau Omnibus Bill merupakan konsep produk hukum (bill) "sapu jagat" yang berfungsi untuk mengkonsolidasi berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan perundang-undangan di setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan holistik (umbrella act).

Konsekwensi yuridisnya, kata Fahri, sesuai teori perundang-undangan ketika bill itu diundangkan, maka membatalkan beberapa aturan hasil pengabungan atau kompilasi serta substansi materinya dinyatakan tidak berlaku lagi, baik sebagian maupun keseluruhan dari materi muatan undang-undang itu. Inilah hakikat dari “consolidation law”.

“Bahwa dengan mencermati berbagai problem hiper regulasi di Tanah Air, terlepas dari 74 undang-undang penghambat investasi. Dengan kata lain, “Omnibus Law” dengan amandemen pasar di 74 UU sektoral. Hal tersebut dapat dipandang tidak holistik jika penataan regulasi menyasar pada perundang-undangan di sektor ekonomi saja," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/10/2019).

Fahri mengemukakan, ideal jika rencana penataan dan konsolidasi hukum dengan konsep “Omnibus Law” dapat didesain untuk suatu proyeksi penataan hukum nasional secara keseluruhan dengan membentuk lembaga khusus pusat legislasi nasional. "Sebagaimana pernah dijanjikan Jokowi saat penyampaian visi-misi beliau pada saat debat capres,” ujar dia.

Menurut Fahri, secara yuridis memang terdapat beberapa problem hukum tetang pembentukan peraturan perundang-undangan. Seperti problem sinkronisasi dan overlapping antara peraturan-perundang undangan, baik secara horisontal, yaitu antara UU yang satu dan UU sektoral lainya di level pusat, maupun produk hukum tingkat daerah melalui peraturan daerah (perda) yang saling bertabrakan dengan undang-undang.

Begitu juga otoritas pembentukan undang-undang oleh berbagai instansi pemrakarsa, dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Baleg DPR, maupun perangkat-perangkat teknis lainya, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Metode yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi berbagai produk peraturan perundang-undangan yang sangat rumit dan kompleks itu dapat digunakan suatu model sistem audit elektronik dari semua produk perundang-undangan tersebut. Sehingga, bisa diketahui dan dimengerti oleh semua pihak," tutur Fahri.

Seperti, ungkap Fahri, jumlah UU, PP, Perda dan Perpres mengenai tanah, pajak, serta hutan yang cukup banyak dan sistemik itu. Dalam keadaan normal dan konvensional, pasti sangat sulit dikerjakan. Jadi memerlukan sistem audit norma hukum dengan memanfaatkan jasa teknologi yang berbasis IT.

Fahri mengungkapkan, melalui instrumen “Omnibus Law” yang merupakan “Beleid” penggabungan dan konsolidasi sejumlah peraturan (reggeling) menjadi satu UU. Sebagai payung hukum baru tersebut, maka pemerintah bisa membangun suatu sistem yang dapat menata ulang perundang-undangan di Indonesia yang lebih akuntabel dan kredible serta berdaya dan berhasil guna.

Melalui instrumen “Omnibus Law” atau Omnibus Bill,ungkap Fahri, diharapkan pemerintah tidak hanya terfokus pada sektor investasi dan pajak semata, melainkan menyisir semua bidang. Seperti, HAM, sistem Pemilu, lingkungan hidup dan lain-lain. Karena, konsep bernegara Indonesia bukan hanya untuk investasi, tapi membangun kesejahteraan dan keadilan bagi semua, termasuk sistem demokrasi dan pendidikan secara keseluruhan.

“Bahwa secara komparatif dan kajian ilmu hukum tata negara, mekanisme “Omnibus Law” atau Omnibus Bill pernah dilakukan oleh Irlandia untuk melakukan perampingan peraturan perundangan yang dilakukan hanya lewat satu UU “Omnibus Law” dan dapat menghapus sekitar 3.225undang-undang.Irlandia dianggap sebagai rekor dunia capaian terbesar dalam praktik "Omnibus Law," ungkap Fahri.

Fahri mengatakan berdasarkan data ada sekitar kurang lebih 62.000 regulasitersebar di berbagai lembaga sektoral, yang potensial menghambat gerak maju pembangunan nasional. Untuk menyikapi hal tersebut, diperlukan suatu terobosan hukum yang mendasar, futuristik, terukur, dan sistemtis.

“Salah satunya melalui mekanisme BeleidOmnibus Law” tetapi harus terkelola secara sistemik dan hati-hati. Sebab tentu hal ini mempunyai implikasi teknis ketatanegaraan. Untuk itu dibutuhkan Badan Khusus Pusat Legislasi Nasional yang kredible dan kapabel agar kebijakan konsolidasi norma dan UU dapat dilakukan secara terencana dan tepat sasaran, sehingga keadaan hiper regulasi dapat diatasi,” kata dia.

Fahri menyebutkan, konsep “Omnibus Law” sangat lazim diterapkan di negara-negara dengan konsep hukum Anglo Saxon. Seperti, Amerika Serikat (AS). Namun, bukan berarti tidak dapat diterapkam di Indonesia. Jika kebijakan instrumen “Omnibus Law” dapat direalisasikan, langkah selanjutnya adalah melakukan revisi terhadap instrumen hukum UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Karena ada beberapa konsekwensi teknis jika pemerintah harus mengadopsi konsep omnibus law, kerena struktur perundang-undangan di Indonesia secara teori belum mengatur secara spesifik tentang konsep ini,” ujar Fahri.

Fahri menyebutkan, ada problem baik secara teori maupun yuridis berkaitan dengan kedudukan UU “Omnibus Law” atau Omnibus Bill nantinya. Sebab, konsep UU Omnibus Law belum diatur dalam UU Nomor 15/2019 juncto UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.

Menurut dia, jika mengunakan pendekatan sistem perundang-undangan nasional, UU "Omnibus Law" dapat dikualifikasi sebagai UU payung (umbrella act) karena mengatur secara menyeluruh dan mempunyai daya ikat terhadap aturan lain.

“Tetapi Indonesia tidak mengenal UU payung. Sebab struktur perundang-undangan di Indonesia semua organik, sama derajat dan daya ikatnya. Untuk kepentingan itu, maka untuk mengakomodasi pengaturan tentang konsep omnibus law perlu diatur dengan melakukan revisi terhadap UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga mempunyai legitimasi secara yuridis. Hal ini penting dilakukan untuk mengantisipasi berbagai upaya hukum oleh pihak pihak dengan mempersoalkan di Mahkamah Konstitusi kelak,” jelas dia.

Fahri mengingatkan Indonesia pernah mengeluarkan kebijakan hukum berkonsep seperti “Omnibus Law”. Seperti, TAP MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR RI tahun 1960.

Peraturan itu pada pokoknya mengatur perihal TAP MPR mana saja yang dinyatakan berlaku dan tidak berlaku lagi. “Konsep "Omnibus Law” pemerintah harus didukung dalam rangka penataan sistem hukum dan pembangunan hukum yang konstruktif dan sejalan dengan prinsip konstitusionalisme,” pungkas Fahri.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 5.0806 seconds (0.1#10.140)