Pakar HTN Dorong DPR Revisi UU MD3 terkait Pelantikan Presiden

Senin, 21 Oktober 2019 - 07:33 WIB
Pakar HTN Dorong DPR Revisi UU MD3 terkait Pelantikan Presiden
Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid. Foto/Koleksi Pribadi Fahri Bachmid
A A A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Dr Fahri Bachmid SH MH mendorong DPR segera merevisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), khususnya terkait nomenklatur pelantikan presiden diubah menjadi sumpah atau janji jabatan presiden dan wakil presiden.

Menurut Fahri, penggunanaan nomenklatur pelantikan presiden-wapres masa jabatan periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019 oleh MPR kurang tepat dan tidak sebangun dengan konstitusi.

Karena, kata dia, istilah pelantikan tidak dikenal dalam pranata ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 hasil amandemen pertama, yang mana disebutkan dalam Ayat (1) bahwa, "Sebelum memangku jabatannya, presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR atau DPR sebagai berikut".

"Selanjutnya Ayat (2): jika MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang, presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung," kata Fahri dalam keterangan persnya, Senin (21/10/2019).

Fahri mengemukakan, memang secara teknis pembentuk undang-undang tidak cermat telah membuat konsep dan nomenklatur pelantikan presiden dan wakil presiden sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 33, 34 dan 35 UU MD3 juncto UU RI Nomor 42 Tahun 2014 juncto UU RI Nomor 2 Tahun 2018 juncto UU RI Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.

Secara teoritik, ujar Fahri, pascaamandemen UUD tahun 1945, mekanisme ketatanegaraan telah berubah, baik secara paradigmatik maupun konstitusional. Kelembagaan MPR tidak lagi bersifat hirarkis.

Artinya, kelembagaan MPR adalah setara atau sejajar dengan kelembagaan Presiden. Sehingga konsekwensi ketatanegaraannya adalah, tidak tepat jika MPR melakukan tindakan melantik atau melaksanakan pelantikan presiden-wapres seperti ketika Indonesia masih menganut paham supremasi MPR sebelum amandemen UUD 45.

"Tetapi yang sesungguhnya MPR hanyalah menyaksikan pengucapan sumpah jabatan presiden dan wakil presiden sebagaimana telah ditentukan secara limitatif oleh konstitusi," ujar Fahri.

Dengan demikian, tutur Fahri, ke depan menjadi tugas konstitusional DPR untuk meninjau dan meluruskan konsep sumpah jabatan presiden ini dengan melakukan revisi atas ketentuan Pasal 33 UU No.17 Tahun 2014 tentang MD3.

"Ini agar sejalan dan sebangun dengan spirit rumusan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 dan praktik ketatanegaraan kita menjadi linier dengan sistem pemerintahan presidensial yang kita anut saat ini," tutur Fahri.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.4978 seconds (0.1#10.140)