Demokrat dan Gerindra Merapat ke Istana, Peta Koalisi Berubah

Sabtu, 12 Oktober 2019 - 10:03 WIB
Demokrat dan Gerindra Merapat ke Istana, Peta Koalisi Berubah
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) memberikan keterangan kepada sejumlah wartawan seusai pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Foto/SINDO/Eko Purwanto
A A A
JAKARTA - Menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma’ruf Amin (KMA), peta politik bergerak dinamis. Merapatnya Gerindra dan Demokrat ke Istana diyakini akan mengubah peta koalisi lima tahun ke depan.

Dalam dua hari terakhir, Jokowi menggelar pertemuan dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Istana Merdeka. Pertemuan ini tentu menjadi babak baru hubungan Jokowi dengan Prabowo dan SBY yang selama Pemilu 2019 berada di kubu berbeda.

"Pertemuan Jokowi dan dua tokoh yang selama ini berada di kubu berseberangan dipastikan akan mengubah peta koalisi yang selama ini terbelah antara Koalisi Indonesia Kerja (KIK) dan Koalisi Indonesia Adil Makmur," ujar pengamat politik Universitas Al Azhar Jakarta Ujang Komaruddin saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.

Dia menjelaskan, dalam pertemuan pertama antara Jokowi dan SBY, diketahui SBY dengan jelas menegaskan dukungan Demokrat terhadap pemerintahan Jokowi-KMA. Artinya, pertemuan SBY-Jokowi itu memfinalisasi dukungan Demokrat dan SBY terhadap pemerintah.

"Ketika Demokrat mendukung pemerintah, artinya pasti dapat kursi kabinet. Soal siapa yang bakal menduduki, kalau menurut saya pasti AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) sebagai golden boy-nya Demokrat. Itu clear," tutur Ujang.
Sementara, posisi Gerindra meski secara politik Prabowo belum menyatakan bergabung dengan koalisi Jokowi, arah koalisi itu dinilai sudah mulai terbentuk dengan bertemunya Jokowi-Prabowo.

"Dugaan saya ini bagian dari memfinalisasi apakah memang Gerindra dan Prabowo akan masuk koalisi atau memang di luar pemerintahan. Tapi kalau menurut hemat saya, bisa saja pertamuan ini adalah win-win solution Gerindra yang ingin masuk kabinet. Tidak mungkin pertemuan ini dilaksanakan ketika Gerindra tidak punya maksud. Pasti ada hal yang ingin dibicarakan untuk masa depan Partai Gerindra," tuturnya.

Ujang mengatakan, saat ini semua parpol berkepentingan masuk ke pemerintah demi kepentingan mengumpulkan logistik untuk keperluan Pemilu 2024. "Bohong jika parpol hari ini, baik yang di koalisi ataupun oposisi, tidak mempersiapkan diri menghadapi 2024. Oleh karena itu, kursi kabinet menjadi penting sebagai bagian untuk mempersiapkan logistik Pemilu 2024," urainya.

Jika asumsi itu benar adanya maka peta koalisi pasti berubah. "Jokowi akan mendapatkan amunisi kekuatan baru yaitu bisa dari Demokrat yang sudah clear mendukung, lalu ketambahan Gerindra. Maka yang terjadi, ini pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik dan efektif karena semua parpol ingin bergabung dengan koalisi," paparnya.
Dikatakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini, di negara demokrasi mana pun suatu pemerintahan yang kuat diperlukan, namun saat yang sama juga membutuhkan oposisi yang kuat.
"Kalau Gerindra masuk koalisi Jokowi, lalu mendapatkan jatah tiga menteri, katakanlah, ini kan tidak menyisakan oposisi hanya PKS. Kalau PAN kan ingin ke pemerintah, tapi resistensinya tinggi, ditolak parpol koalisi. Seandainya PAN dan PKS menjadi oposisi, itu bukan menjadi sebuah kekuatan oposisi yang baik, tidak seimbang antara kekuatan koalisi Jokowi dengan kekuatan oposisi yang ada," paparnya.

Masuknya Demokrat dan Gerindra, kata Ujang, di sisi lain juga bisa memicu kecemburuan dari parpol koalisi, sebab hal itu akan membuat jatah kursi menteri parpol koalisi berpotensi berkurang. ”Itulah yang membuat kecemburuan terjadi. Partai-partai yang sudah berdarah-darah, sudah berkeringat, tapi dapatnya (kursi menteri) sama bahkan ada yang lebih kecil. Inilah yang sebenarnya ditolak NasDem dan kawan-kawan. Inilah yang sebenarnya yang merusak peta politik. Namun, peta ini disukai oleh PDIP karena dengan masuknya Gerindra maka dia berkawan. PDIP memiliki sekutu baru, tapi di saat muncul sama resistensi yang tinggi dari NasDem dari yang lain. Inilah yang sebenarnya membuat Jokowi pening dan pusing," paparnya.

Diketahui, Jokowi mengundang Prabowo ke Istana Merdeka, Jakarta, kemarin. Pertemuan yang berlangsung kurang lebih satu jam tersebut sepertinya berlangsung cair. Hal ini tampak saat keduanya keluar dari ruang pertemuan. Terlihat Prabowo dan Jokowi bercengkerama sambil tertawa bersama sebelum berhadapan dengan para pewarta di Istana. "Hubungan saya baik. Bisa dikatakan mesra gitu ya Pak," ujar mantan danjen Kopassus itu sambil tertawa.

Ungkapan itu langsung direspons Jokowi. "Sangat mesra," balas Jokowi. Prabowo sempat menyindir bahwa kemesraan keduanya tersebut membuat beberapa pihak tidak suka. Namun, tidak jelas siapa yang dimaksud. "Banyak enggak suka mungkin, Pak," kelakar Prabowo.

Namun, hingga bertemuan berakhir, belum ada kepastian Gerindra bakal merapat ke koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. "(Pembahasan) juga yang berkaitan dengan masalah koalisi. Tapi ini belum, untuk urusan satu ini belum final. Tapi kami tadi sudah berbicara banyak mengenai kemungkinan Partai Gerindra untuk masuk ke koalisi kita," ujar Jokowi.

Dia mengatakan, jika sudah final pembicaraan soal koalisi, keduanya akan kembali menyampaikan. "Tadi saya sudah saya sampaikan belum final. Nanti kalau sudah final, baru kita sampaikan berdua lagi," ungkapnya.

Prabowo mengatakan bahwa pihaknya selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Dia pun menilai persatuan harus dikedepankan. "Kami, Gerindra, selalu mengutamakan kepentingan yang besar. Kepentingan bangsa dan negara. Kita bertarung secara politik. Begitu selesai kepentingan nasional yang utama, saya berpendapat saya harus bersatu," ujarnya.

Sementara SBY seusai bertemu Jokowi, Kamis lalu, tidak memberikan pernyataan kepada media. Namun, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarifuddin Hasan mengatakan pertemuan antara Jokowi dan SBY di Istana Negara diharapkan bisa membuat bangsa ke depan lebih baik.

"Mudah-mudahan kebersamaan ini kita bisa membuat bangsa ini dan rakyat kita lebih baik ke depan. Kami kalau ini tuntutan bangsa, tuntutan rakyat, kepentingan bangsa, kita siap," ujar Syarifuddin Hasan seusai bertemu dengan presiden kelima RI yang juga ketua umum PDI Perjuangan bersama jajaran pimpinan MPR, Kamis (10/10/2019).

Syarief Hasan yang juga wakil ketua MPR mengatakan, urusan menteri menjadi hak prerogatif presiden sehingga soal dapat atau tidaknya Demokrat kursi menteri, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Jokowi. "Tergantung Pak Presiden yang memegang hak prerogatif. Kalau beliau sebagai pemegang hak prerogatif itu meminta Partai Demokrat, ya tentu Partai Demokrat akan memberikan kontribusinya kepada bangsa negara," paparnya.

Sementara itu, Golkar meminta agar parpol koalisi mendapatkan prioritas jika Demokrat dan Gerindra bergabung mendukung pemerintah. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Maman Abdurrahman mengatakan bahwa urusan kabinet merupakan hak prerogatif presiden. "Namun, tentunya kita berharap bahwa prioritas utama adalah pada partai pendukung di awal," ujar Maman.

Anggota Dewan Syura PKB Maman Imanulhaq menegaskan bahwa soal menteri menjadi hak prerogatif presiden. Namun, dia berharap masuknya anggota koalisi baru bukan malah menimbulkan masalah ke depan. "Ini adalah hak prerogatif presiden, asal sekali lagi, ini semua bekerja untuk rakyat. Tidak boleh ada intrik, tidak boleh ada manuver yang mengganggu janji-janji Jokowi-Ma'ruf Amin," ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.0467 seconds (0.1#10.140)