Kasatlantas Tak Sepakat Bandung Disebut Termacet di Indonesia

Selasa, 08 Oktober 2019 - 22:56 WIB
Kasatlantas Tak Sepakat Bandung Disebut Termacet di Indonesia
Kasatlantas Polrestabes Bandung Kompol Bayu Catur Prabowo. Foto/SINDOnews/Agus Warsudi
A A A
BANDUNG - Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas) Polrestabes Bandung Kompol Bayu Catur Prabowo tak sepakat jika Kota Bandung disebut termacet di Indonesia, mengalahkan kemacetan di DKI Jakarta dan Surabaya.

"Terkait ADB Outlook yang menyebut Bandung salah satu kota termacet di Asia, mengalahkan Jakarta dan Surabaya, dalam survei ini kami juga mencari indikator. Dilihat dari sisi mana Bandung sebagai kota termacet?" kata Bayu di Mapolrestabes Bandung, Jalan Jawa, Kota Bandung, Senin (7/10/2019).

Bayu mengemukakan, berdasarkan pengecekan di lapangan, Bandung belum dikatakan kota paling macet. Indikatornya bisa dilihat dari traffic light.

Kategori kemacetan ini bisa diukur jika satu kendaraan terjebak 5 sampai 7 kali antrean di lampu merah. Sementara di Kota Bandung, kendaraan belum sampai 5-7 kali terjebak lampu merah di waktu sama.

"Kota macet itu apabila kendaraan bisa lima sampai tujuh kali di lampu merah. Nah di Bandung belum sampai sana. Kalau tiga sampai empat kali di lampu merah posisi sama mungkin iya. Jadi, kemacetan itu indikatornya banyak, tergantung bagaimana menilai," ujar Kasatlantas.

Bayu mencontohkan, di Jalan Dr Djunjunan (Pasteur), tepatnya perempatan Pasteur-Sukajadi, kendaraan berada di antrean lampu merah tak sampai 5 kali.

Kendaraan di Pasteur itu, tutur dia, dari semua jalur. Belum lagi kendaraan wisatawan yang datang ke Bandung setiap weekend (akhir pekan), Jumat, Sabtu atau Minggu.

Jumlah kendaraan yang masuk ke Kota Bandung lebih 60 ribu unit. Artinya, 60 ribu kendaraan masuk dengan ruas jalan yang tidak berubah.

Meski begitu, kendaraan tidak lebih dari tiga sampai empat lampu merah sudah bisa lewat, baik ke Sukajadi maupun ke Tol Pasteur. "Nah ini suatu indikator Bandung belum terlalu macet," tutur Bayu.

Namun Bayu tak memungkiri jika lalu lintas kendaraan di Kota Bandung kerap terjadi kemacetan. Salah satu penyebabnya, belum efektifnya moda transportasi terpadu.

Akibatnya, masyarakat lebih banyak memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding angkutan umum. Sehingga kendaraan pribadi menumpuk di jalan.

Bayu menilai, angkutan umum dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi baik itu sepeda motor maupun mobil. Di Jakarta, masyarakat sudah mulai beralih dari kendaraan roda dua atau empat ke angkutan umum.

Masyarakat di Jakarta lebih nyaman menggunakan busway atau kereta bawah tanah atau kendaraan umum lain. Fasilitas angkutan umum di Jakarta harus diakui sudah lebih baik daripada Kota Bandung.

Ini jadi salah satu indikator bahwa masyarakat yang bergerak dari satu titik ke titik lain dengan menggunakan kendaraan umum berarti jumlah kendaraan yang ada di lapangan ini semakin berkurang.

"Fasilitas angkutan umum memadai dan terpadu memang diperlukan untuk kota besar sekelas Kota Bandung. Dengan angkutan umum memadai, pengguna kendaraan pribadi akan beralih. Karena gak ada angkutan umum memadai, masyarakat pakai kendaraan pribadi, jalanan jadi macet," ungkap Bayu.

Sementara, kata Kasatlantas, panjang dan lebar jalan di Kota Bandung tak bertambah. Meski dibangun fly over Pasupati, Kiaracondong, dan Antapani, tetap tak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan.

Berdasarkan data, jumlah kendaran bertambaah 10% per tahun. Sehingga, ruas jalan yang ada sudah tidak memadai. Namun di sanping penambahan kendaraan baru, ada juga pengurangan kendaraan lama yang nggak dipakai.

"Kalau (jalan) mau dilebarkan ke mana lagi, situasinya seperti itu. Dilihat dari interval memang belum banyak perubahan," tandas Bayu.

Diketahui, Asian Development Bank (ABD) merilis Update of the Asian Development Outlook edisi September 2019. Dalam rilis tersebut, ADB menyurvei 278 kota di 45 negara.

Namun hasilnya, dari 24 kota termacet, Kota Bandung berada di peringkat ke-14. Artinya, kemacetan Kota Bandung peringkat pertama di Indonesia mengalahkan DKI Jakarta dan Surabaya. Sedangkan DKI Jakarta menduduki peringkat 17 dan Surabaya 20.

Rata-rata kemacetan seluruh kota 1,24 jam. Artinya diperlukan waktu 24% lebih banyak untuk melakukan perjalanan di jam sibuk daripada di jam tak sibuk.

Kemacetan bisa lebih parah di kota-kota besar. Kemacetan rata-rata mencapai 1,51 jam untuk 24 kota terbesar dengan populasi di atas 5 juta.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 4.8264 seconds (0.1#10.140)