Budayawan Nilai Perda Kawasan Tanpa Rokok Kebablasan

Kamis, 26 September 2019 - 18:33 WIB
Budayawan Nilai Perda Kawasan Tanpa Rokok Kebablasan
Sejumlah seniman dan budayawan menggelar aksi teatrikal mengkritisi Perda KTR yang dinilai kebablasan. Foto/Istimewa
A A A
BOGOR - Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Nomor 8 Tahun 2018 menuai sikap kritis dari kalangan seniman dan budayawan. Mereka menilai, aturan tersebut sebagai kebijakan yang kebablasan.

Sikap kritis tersebut disampaikan sejumlah seniman dan budayawan yang tergabung dalam Aliansi Tradisi Masyarakat Bogor (ATMB) lewat aksi teatrikal di kawasan Tugu Kujang, Kota Bogor di tengah perhelatan Asia Pacific Cities Aliance for Tobaco Control and Prevention on Noncommunicable Diseases Summit (AP-CAT).

Dalam aksinya, ATMB membawa sejumlah papan bergambar tokoh wayang berbentuk gugunungan (ikon pewayangan) sebagai simbol bahwa budaya itu lebih tinggi. Mereka juga membawa bermacam-macam jenis tembakau, rokok, bunga serta buah-buahan.

"Gugunungan dengan tulisan di belakangnya berupa pesan moral, kegelisahan atas nasib saudara-saudara kami para petani tembakau di seluruh Indonesia. Mulai dari Garut, Sumedang, Nagreg, Temanggung, Madura, Lombok, dan wilayah lainnya. Perda itu kan peraturan daerah, ya hakekatnya mengatur, bukan melarang merokok. Ini sudah terlalu jauh," kata penggerak kebudayaan ATMB Ki Bambang Sumantri dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (26/9/2019).

Menurut Ki Sumantri, tembakau adalah warisan budaya dan warisan para leluhur yang sarat dengan kearifan lokal. Apalagi, berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak, mulai dari petani tembakau, pelinting rokok, hingga SPG rokok. Dia juga menegaskan, tembakau juga menjadi bagian tak terpisahkan dari tadisi budaya seluruh suku bangsa di Nusantara.

"Karenanya, melarang dan mengharamkan produk-produk hasil tembakau adalah sesuatu kebijakan yang kebablasan. Diatur boleh, kan namanya juga kawasan tanpa rokok. Berarti ada dong kawasan untuk bisa merokok. Coba, lebih bijak dan melihat secara menyeluruh. Moal bisa dilarang-larang mah. Diatur boleh," ujar Ki Sumantri.

Lebih dari itu, lanjut Ki Sumantri, rokok dan tembakau adalah produk legal yang ditandai dengan adanya pajak dan cukai tembakau yang dibayarkan kepada negara.

"Konon katanya ada dana bagi hasil yang diterima kota dan kabupaten di Indonesia dari cukai tembakau. Kontribusinya untuk APBN juga signifikan. Cik atuh anu bijak buat kebijakan dan pernyataan-pernyataan teh. Ulah hayang meunang sorangan (jangan mau menang sendiri), perhatikeun aspirasi rahayat anu lainnya,” papar Ki Sumantri.

Adapun tujuan aksi teatrikal ini, lanjut Ki Sumantri, adalah untuk menegaskan bahwa warga Bogor tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan penyusunan Perda KTR. Konsekuensinya adalah hak warga (perokok) ditiadakan dan tidak ada tempat khusus untuk merokok.

"Bahkan di Bogor rokok itu dihijab di mini market, tapi kondom dipajang depan kasir," ujarnya.

Di sisi lain, Ki Sumantri juga menyebut bahwa warga sebagai konsumen sudah turut serta berkontribusi membayar pajak melalui cukai rokok (DBHCHT) yang saat ini sudah diterima dan dimanfaatkan oleh Pemkot Bogor untuk berbagai kegiatan. "Jadi, jangan sembarangan main mengharamkan produk tembakau. Ingat nasib orang lain," pesan Ki Sumantri.

Untuk diketahui, AP-CAT Summit yang digelar di Kota Bogor, Rabu 25 September 2019 itu adalah pertemuan pemerintah kota-kota dan lembaga pemerintah di wilayah Asia Pasifik yang anti pada rokok serta produk hasil tembakau lainnya.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1188 seconds (0.1#10.140)